Bila Anda adalah salah satu penggemar kopi atau pengunjung setia warung kopi 'murahan' yang biasanya bertebaran di hampir sudut-sudut kota, coba Anda amati dengan teliti: koran apa yang biasanya disuguhkan pemilik warung untuk menemani Anda ngopi?
Apakah Anda juga pernah datang ke kantor bank, atau ke lobby perusahaan-perusahaan besar atau kantor perusahaan apapun di gedung-gedung jangkung? Lalu, coba, perhatikan pula, koran apa yang ditata rapi di meja-meja lobby-nya?
Jika mau, bisa saja sebenarnya pemilik warung menyediakan koran yang sama, yang serupa, seperti yang ditata rapi di meja-meja lobby perusahaan di gedung jangkung itu.
Tapi tidak, kan?
Mengapa?
Di warung kopi 'murahan' atau warung makan pinggir jalan, Anda pasti tahu, korannya hampir serupa: Pos Kota, Lampu Merah dan segenap koran-koran lain yang serumpun. Saya berani bertaruh: tidak di Jakarta tidak di kota lain - sama semua. Di koran-koran ala "lampu kuning" itu, Anda bisa temui cerita copet yang digebuki massa, cerita selingkuh, cerita orang bunuh diri atau judul-judul berita yang serupa "Sedang Mesum dengan Pembantu Tak Sadar Direkam Istrinya".
Dalam kajian media, praktik pemberitaan yang menjual berita-berita yang serupa dengan yang saya tulis di atas, yang menyajikan berita-berita sensasi kerap disebut sebagai jurnalisme tabloid. Sensasi berasal dari kata "sense" (rasa), atau bisa dimaknai sebagai apa yang disebut berita sensasi, yaitu berita yang isinya dan terutama judul dan baris-baris kalimatnya dibuat dengan sedemikian rupa untuk menarik perhatian, membangkitkan perasaan dan meluapkan emosi pembacanya. Dengan demikian, berita-berita koran tersebut harus ditulis dengan bahasa sederhana dan judul yang sensasional, kalau perlu dicetak dengan warna merah untuk memberikan efek merinding, kagum, takjub, dan mengerikan. Pendeknya, judul berita memang harus dibuat begitu untuk membuat perasaan meluap-luap.
Hasil riset yang didokumentasikan dalam tulisan "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia" yang ditulis Diyah Hayu Rahmitasari, dosen junior di Departemen Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menyebutkan bahwa jurnalisme tabloid itu (sebenarnya) adalah termasuk lanskap atau sudah menjadi bagian dari industri media kontemporer Indonesia. Mereka hadir menawarkan perspektif baru untuk memenuhi dahaga informasi dan selera orang-orang kecil - kelompok pembaca yang 'tak tersentuh' yang diabaikan surat kabar arus utama.
Dengan menggunakan bahasa daerah di sebagian besar tajuk utamanya, dan menggunakan diksi informal dan sederhana, mereka menyajikan berita dan cerita-cerita yang mudah dibaca dan dimengerti oleh orang-orang kecil, yang ternyata jumlahnya sangat besar itu. Buktinya, koran Pos Kota, Lampu Merah dan koran-koran ala "koran kuning" itu berhasil mendapatkan oplah yang sangat besar. Merujuk informasi yang saya peroleh di Wikipedia, Pos Kota adalah surat kabar harian yang memiliki tiras surat kabar harian tertinggi di Indonesia dengan 600.000 eksemplar per hari. Bukan main!
Sementara itu, Lampu Hijau yang sebelumnya bernama Lampu Merah, pada Januari 2017, oplahnya sudah mencapai 40.000 eksemplar per hari.
Dengan oplah yang sebesar 600.000 ribu dan 40.00 per hari itu, setidaknya, sudah bisa membuat kedua koran harian itu terus bertahan di saat banyak media cetak lainnya tak lagi bisa menjaga laju mesin-mesinnya agar terus berputar atau bahkan sudah tutup buku.
Kedua koran tersebut (Pos Kota dan Lampu Merah) memang memiliki kemiripan: memberi halaman yang lebih banyak untuk menceritakan isu-isu lokal khususnya yang terkait kriminal, cerita selingkuh, cerita orang bunuh diri atau skandal, dan segenap kejadian-kejadian sensasional lainnya. Di Pos Kota, slot berita kejahatan berada di peringkat pertama, diikuti oleh berita lokal, berita nasional, berita selebriti, dan iklan. Berita kejahatan selalu terletak di halaman yang pertama dibaca dan paling mudah diakses: halaman satu, dua dan tiga.
Setelah melihati fakta ini, saya kadang-kadang merasa malu, sebab pernah 'menyalahkan' mengapa sebagian masyarakat menyenangi genre jurnalisme yang menjual dan menyuguhkan berita-berita murahan, sensasional, dan tidak berkelas. Mengapa saya menyalahkan tetapi tidak memedulikan fakta bahwa masyarakat memang menyukainya? Jika tidak, lantas mengapa Pos Kota bisa memiliki tiras hingga 600.000 eksemplar per hari?
Tampaknya genre jurnalisme yang menjual berita-berita sensasional itu memang menyadari bahwa sebagian besar orang-orang kecil adalah para pekerja yang berasal dari desa atau daerah pedesaan. Mereka terbiasa mengadakan komunikasi dengan bahasa sederhana dan tanpa perantara. Mereka menyukai gosip, skandal dan kejadian-kejadian 'remeh' di sekitarnya, misalnya, kecelakaan motor atau copet yang tertangkap massa. Mereka juga menyukai kolom-kolom yang menampungi uneg-uneg dan keluh keah sehari-hari sebagai pengganti saluran sosial tradisional mereka, yang menciptakan ikatan yang kuat dengan pembacanya.
Sebagian besar pembaca Pos Kota, Â kata Diyah, adalah kelompok masyarakat dengan usia berkisar antara 30 hingga 49 tahun, dan (ini yang menarik) menurut Indeks Media Nielsen menunjukkan bahwa 63% pembaca Pos Kota memiliki pendapatan reguler Rp. 2.000.000 per bulan (sebagaimana dikutip dalam Litbang Grup Pos Kota, 2011).
Dari "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia", dan  dari Indeks Media Nielsen itu, saya mendapati hal sangat menarik sekaligus pertanyaan: apakah saya boleh menyimpulkan bahwa orang-orang kecil secara umum apa benar lebih menyukai gosip, skandal dan masalah-masalah remeh yang terjadi di sekitar mereka atau dengan kata lain apakah mereka careless dengan isu-isu global, ekonomi makro, atau isu-isu milik orang kota (baca: kelompok terpelajar)?
Atau, jangan-jangan, kaum terpelajar dan orang-orang yang kerap memperbicangkan GDP, isu muslim Uighur, perang dagang, WTO, dan segenap isu-isu global yang lainnya juga mencuri-curi membaca berita gosip, skandal, pelecehan seks. Mereka membaca berita "Sedang Mesum dengan Pembantu Tak Sadar Direkam Istrinya" juga sambil mesem-mesem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H