Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dahaga Informasi Ala Kaum "Jelata"

27 Juni 2020   15:34 Diperbarui: 27 Juni 2020   15:30 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: Figure 1 - "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia"

Kedua koran tersebut (Pos Kota dan Lampu Merah) memang memiliki kemiripan: memberi halaman yang lebih banyak untuk menceritakan isu-isu lokal khususnya yang terkait kriminal, cerita selingkuh, cerita orang bunuh diri atau skandal, dan segenap kejadian-kejadian sensasional lainnya. Di Pos Kota, slot berita kejahatan berada di peringkat pertama, diikuti oleh berita lokal, berita nasional, berita selebriti, dan iklan. Berita kejahatan selalu terletak di halaman yang pertama dibaca dan paling mudah diakses: halaman satu, dua dan tiga.

Setelah melihati fakta ini, saya kadang-kadang merasa malu, sebab pernah 'menyalahkan' mengapa sebagian masyarakat menyenangi genre jurnalisme yang menjual dan menyuguhkan berita-berita murahan, sensasional, dan tidak berkelas. Mengapa saya menyalahkan tetapi tidak memedulikan fakta bahwa masyarakat memang menyukainya? Jika tidak, lantas mengapa Pos Kota bisa memiliki tiras hingga 600.000 eksemplar per hari?

Tampaknya genre jurnalisme yang menjual berita-berita sensasional itu memang menyadari bahwa sebagian besar orang-orang kecil adalah para pekerja yang berasal dari desa atau daerah pedesaan. Mereka terbiasa mengadakan komunikasi dengan bahasa sederhana dan tanpa perantara. Mereka menyukai gosip, skandal dan kejadian-kejadian 'remeh' di sekitarnya, misalnya, kecelakaan motor atau copet yang tertangkap massa. Mereka juga menyukai kolom-kolom yang menampungi uneg-uneg dan keluh keah sehari-hari sebagai pengganti saluran sosial tradisional mereka, yang menciptakan ikatan yang kuat dengan pembacanya.

Sebagian besar pembaca Pos Kota,  kata Diyah, adalah kelompok masyarakat dengan usia berkisar antara 30 hingga 49 tahun, dan (ini yang menarik) menurut Indeks Media Nielsen menunjukkan bahwa 63% pembaca Pos Kota memiliki pendapatan reguler Rp. 2.000.000 per bulan (sebagaimana dikutip dalam Litbang Grup Pos Kota, 2011).

Dari "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia", dan  dari Indeks Media Nielsen itu, saya mendapati hal sangat menarik sekaligus pertanyaan: apakah saya boleh menyimpulkan bahwa orang-orang kecil secara umum apa benar lebih menyukai gosip, skandal dan masalah-masalah remeh yang terjadi di sekitar mereka atau dengan kata lain apakah mereka careless dengan isu-isu global, ekonomi makro, atau isu-isu milik orang kota (baca: kelompok terpelajar)?

Atau, jangan-jangan, kaum terpelajar dan orang-orang yang kerap memperbicangkan GDP, isu muslim Uighur, perang dagang, WTO, dan segenap isu-isu global yang lainnya juga mencuri-curi membaca berita gosip, skandal, pelecehan seks. Mereka membaca berita "Sedang Mesum dengan Pembantu Tak Sadar Direkam Istrinya" juga sambil mesem-mesem.

Sumber foto ilustrasi: Figure 1 - "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia"
Sumber foto ilustrasi: Figure 1 - "Re-inventing Tabloid Journalism in Indonesia"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun