Fitri sesenggukan mengisahkan pengakuannya mengapa ia memutuskan pindah keyakinan dari Islam menjadi Kristen. Suaranya terbata menahan tangis. Ia meminta maaf kepada keluarganya, karib kerabatnya bahkan hingga Wali Kota Langsa atas 'pemurtadan'-nya. Pengakuan Fitri itu lantas ramai diperbincangkan. Media sosial kembali riuh.
Anda bisa menemukan kisah Fitri itu di saluran youtube.
Mengapa perpindahan keyakinan, apalagi dari Islam ke Kristen, selalu menjadi topik perbincangan? Apakah tidak diperbokehkan seseorang itu memindahkan keyakinannya? Mengapa keluarganya seringkali merasa itu aib?
Di Indonesia, perkara keyakinan dan Iman, Anda sudah tahu, memang masih menjadi topik sangat menarik dibahas, diulas, diamini, dan ditentang. Perbincangannya selalu riuh. Jauh lebih riuh dan menarik daripada membicarakan teknologi. Kasus persekusi dari keluarga masih kerap terjadi, umumnya, terhadap mereka yang berpindah dari agama mayoritas ke minoritas. Kasus ini sudah bukan menjadi isu baru.
Kalau Anda tanya saya perkara itu, saya akan jawab singkat bahwa perpindahan agama sejatinya merupakan sesuatu yang personal. Hak setiap manusia. Itu urusan dia dengan Tuhan. Dan, saya tidak suka membahasnya. Namun, saya harus mengakui, dalam masyarakat kita, hal ini memang masih dan akan terus menjadi isu menarik. Demikian juga halnya dengan 'persekusi' dari keluarga.
Apakah Anda masih ingat Lindswell Kwok, misalnya, atlet yang pernah menjadi pusat perhatian setelah menyabet medali emas dalam Asian Games 2018, Agustus lalu? Yang menikah lantas berpindah agama itu?
Bukti dan fakta bahwa perpindahan agama, yang sejatinya merupakan urusan hati, sangat mudah menyita perhatian dan menjadi perbicangan (atau pergunjingan) itu memang benar adanya.Â
Buktinya, Google sendiri mencatat bahwa warganet merasa lebih penasaran dengan nama Lindswell Kwok saat dia menikah dan berpindah agama, daripada ketika ia berhasil mendapatkan medali emas di Asian Games itu.Â
Puncak popularitasnya terjadi pada 9 Desember dengan rating 100, sedangkan saat dia memenangkan medali emas, kepopulerannya hanya menunjuk skala 68.
Dan, yang baru-baru ini, adalah cerita Fitri (29), seorang perempuan asal Aceh yang memutuskan keluar dari agama lamanya Islam lalu memeluk Kristen, sebagai keyakinan barunya. Imbasnya, ia kemudian mendapatkan kecaman luar biasa dari keluarganya, bahkan ia mengalami persekusi.
Keluarga Fitri, termasuk ibunya, mendatangi kediaman Fitri yang sekarang di Medan. Dua anak Fitri diambil keluarganya dan dibawa pulang ke Aceh. Fitri sendiri berusaha dipaksa kembali, tapi ia menolak.
Meski kisah Fitri yang memantik 'konflik' dan persekusi itu tidak sama persis, tetapi usai membaca kisahnya itu, saya mendadak ingat kisah mas Frans, yang pernah mengirimkan sepucuk pesan elektronik ke inbox saya. Beberapa tahun yang lalu.
"Saya mulai menjadi seorang peragu. Ada waktu untuk saya, mas?" tanya mas Frans dalam suratnya.
"Oke, siyap mas."
Mas Frans adalah pemeluk agama Islam yang sangat taat, saat pertama kali saya mengenalnya. Itu saya ingat sekali. Tetapi, beberapa pertanyaan yang terus bergelayut dan hinggap di otaknya akhirnya menyeret kakinya masuk ke 'perpustakaan'. Ia lalu belajar tentang Kristen. "Ternyata, ajaran Alkitab itu baik dan nyaman, mas. Melegakan batin," katanya.
Kisah mas Frans menemukan Tuhannya ternyata belum usai setelah ia mempelajari Alkitab. Masih banyak pertanyaan singgah di kepalanya. Ia lalu menemui pedanda dan mendengarkan banyak hal tentang sang Budha. Ia lalu menjadi bimbang (kembali).
"Mengapa pemeluk agama A selalu mengatakan A-lah agama paling baik? Sebaliknya, pemeluk agama Y juga mengatakan hal sama; agama Y-lah yang paling benar?" tanya mas Frans. Pertanyaan itu terus mengendap di otak kepalanya.
"Saya mulai menjadi seorang peragu, mas" ia ulangi lagi kalimat itu.
Cerita mas Frans belum juga usai, tetapi malam sudah mulai larut. Ada (sebenarnya) rasa ingin memberinya sedikit pendapat, atau menasehatinya, sebuah reaksi spontan sebagai bentuk sedikit rasa kepedulian saya terhadapnya. Â
Tapi saya kemudian sadar, bahwa ketika berbicara tentang Iman, itu adalah mutlak haknya. Jika kita bertanya bukti, pemeluk agama manapun juga pasti akan menjawab dengan jawaban sama; kami tidak butuh pembuktian, namanya saja 'iman'. Maka, kepadanya saya pun akhirnya hanya memberikan saran: ambil dan pilihlah mana yang paling benar dan membuatmu nyaman.
"Kegelisahan iman itu biasa. Kisah perjalanan spiritual seseorang menemukan Tuhan tidaklah sama dengan seseorang yang lain. Tidak juga serupa jalan tol yang lurus dan mulus melainkan seperti jalan yang rusak: bergelombang, berkelok-kelok, naik dan turun," kata saya melanjutkan.Â
Hanya itu yang bisa saya sampaikan kepadanya, sebab itulah bahasa standar atau normatif untuk tidak mau mengatakan "hanya agama A sajalah yang paling benar".
That's said.
Tidak perlu ada yang diperdebatkan!
Saya sangat percaya bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan dan ketentraman. Tidak ada satupun agama yang mengajarkan kehancuran dan kejahatan.Â
Maka, jika ternyata kejahatan itu terjadi, itu sejatinya bukan disebabkan oleh agamanya. Yang bermasalah itu adalah orangnya! Yang dihukum itu orangnya! Itu yang saya percayai, sama juga halnya dengan kepercayaan saya bahwa melompat dari agama minoritas ke agama mayoritas mungkin bisa disebut perkara 'mudah'. Yang sulit itu: melompat dari agama mayoritas ke minoritas. Itu tak akan pernah mudah.
Mas Frans menerima penjelasanku dengan gembira, betapapun agama yang akan diputuskannya mungkin jauh lebih kompleks dari yang saya lihat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H