Meski kisah Fitri yang memantik 'konflik' dan persekusi itu tidak sama persis, tetapi usai membaca kisahnya itu, saya mendadak ingat kisah mas Frans, yang pernah mengirimkan sepucuk pesan elektronik ke inbox saya. Beberapa tahun yang lalu.
"Saya mulai menjadi seorang peragu. Ada waktu untuk saya, mas?" tanya mas Frans dalam suratnya.
"Oke, siyap mas."
Mas Frans adalah pemeluk agama Islam yang sangat taat, saat pertama kali saya mengenalnya. Itu saya ingat sekali. Tetapi, beberapa pertanyaan yang terus bergelayut dan hinggap di otaknya akhirnya menyeret kakinya masuk ke 'perpustakaan'. Ia lalu belajar tentang Kristen. "Ternyata, ajaran Alkitab itu baik dan nyaman, mas. Melegakan batin," katanya.
Kisah mas Frans menemukan Tuhannya ternyata belum usai setelah ia mempelajari Alkitab. Masih banyak pertanyaan singgah di kepalanya. Ia lalu menemui pedanda dan mendengarkan banyak hal tentang sang Budha. Ia lalu menjadi bimbang (kembali).
"Mengapa pemeluk agama A selalu mengatakan A-lah agama paling baik? Sebaliknya, pemeluk agama Y juga mengatakan hal sama; agama Y-lah yang paling benar?" tanya mas Frans. Pertanyaan itu terus mengendap di otak kepalanya.
"Saya mulai menjadi seorang peragu, mas" ia ulangi lagi kalimat itu.
Cerita mas Frans belum juga usai, tetapi malam sudah mulai larut. Ada (sebenarnya) rasa ingin memberinya sedikit pendapat, atau menasehatinya, sebuah reaksi spontan sebagai bentuk sedikit rasa kepedulian saya terhadapnya. Â
Tapi saya kemudian sadar, bahwa ketika berbicara tentang Iman, itu adalah mutlak haknya. Jika kita bertanya bukti, pemeluk agama manapun juga pasti akan menjawab dengan jawaban sama; kami tidak butuh pembuktian, namanya saja 'iman'. Maka, kepadanya saya pun akhirnya hanya memberikan saran: ambil dan pilihlah mana yang paling benar dan membuatmu nyaman.
"Kegelisahan iman itu biasa. Kisah perjalanan spiritual seseorang menemukan Tuhan tidaklah sama dengan seseorang yang lain. Tidak juga serupa jalan tol yang lurus dan mulus melainkan seperti jalan yang rusak: bergelombang, berkelok-kelok, naik dan turun," kata saya melanjutkan.Â
Hanya itu yang bisa saya sampaikan kepadanya, sebab itulah bahasa standar atau normatif untuk tidak mau mengatakan "hanya agama A sajalah yang paling benar".