Raksasa otomotif Korea Selatan, Hyundai Motor Group dan LG Chem dikabarkan tengah berencana mendirikan pabrik patungan di Indonesia untuk memproduksi sel baterai untuk mobil listrik (electric vehicle - EV). Begitulah setidaknya isi berita di artikel yang saya baca yang dipublikasikan cnbcindonesia.com kemarin, Selasa (23/6/20).
Menurut kabar tersebut, seperti dikutip dari Reuters, Pemimpin Grup LG Koo Kwang-mo dan Wakil Ketua Eksekutif Grup Motor Hyundai Euisun Chung telah bertemu pada Senin (22/6/20) untuk membahas kerja sama pembuatan baterai mobil listrik termasuk teknologi baterai masa depan.
Sebelumnya, masih menurut sumber yang sama, Hyundai dikabarkan juga sedang berencana membangun pabrik mobil listrik sebagai bagian dari investasi perusahaan di Indonesia dengan total investasi sebesar U$ 880 juta atau sekitar Rp 12,5 triliun.
Mengapa saya merasa tertarik menuliskan kabar tersebut menjadi artikel pendek ini? Dan mengapa para investor sekarang berlomba-lomba membangun pabrik baterai listrik?
Ya, benar saja, industri di tanah air kini memang sedang ramai dengan aktivitas pembangunan pabrik, terutama pabrik yang bisa memproduksi baterai untuk kendaraan listrik atau baterai electric vehicle (EV). Setidaknya kini sudah ada empat pabrik yang dijadwalkan akan dan sedang dibangun, dan mayoritas didanai dan dikelola oleh perusahaan asal negeri Tiongkok.
Tingginya minat investor membangun pabrik dengan teknologi peleburan asam bertekanan tinggi tersebut memang bukan tanpa alasan. Musababnya adalah karena didorong besarnya peluang permintaan baterai EV di Indonesia. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir pun juga sudah menyampaikan harapannya agar Indonesia mampu memproduksi mobil listrik pada 2025. Ini ditambah lagi dengan fakta bahwa, Indonesia diketahui adalah negara produsen bijih nikel terbesar dunia (Kementeria ESDM, September 2019). "Nikel kita, mau ekspor atau enggak, suka-suka kita," tegas Jokowi.
Kendaraan listrik adalah baterai Lithium, dan lithium adalah tentang nikel sebagai bahan bakunya.
Klop.
Sebagaimana juga sudah diketahui, sejak mulainya Kesepakatan Iklim Paris, 12 Desember 2015, negara-negara yang bertanggung jawab atas 97 persen emisi global juga telah mengikrarkan janjinya untuk berkontribusi secara nasional untuk mengurangi emisi pada tahun 2030. Imbasnya, pengurangan pemakaian bahan bakar fosil sekarang terjadi dimana-mana. Orang-orang mulai melirik teknologi Lithium.
Itulah alasan mengapa Lithium sekarang sedang berkembang dan diperbincangkan. Lithium adalah masa depan.
Lithium dan nikel, apakah mereka sudah menemukan takdirnya sebagai pembunuh minyak? Apakah benar periode keemasan dan kejayaan minyak sedang renta karena terus digerogoti oleh Lithium dan nikel?
Dan, ini juga yang tak kalah menarik, apakah ramalan Dahlan Iskan menemukan kebenarannya bahwa akhirnya asing lah yang akan menjadi pemain mobil listrik?
Di laman yang dikelolanya (https://www.disway.id), Dahlan memang pernah menuliskan uneg-uneg dan rasa 'kesal'nya dengan perkembangan mobil listrik tanah air. Saya yakin Anda sudah tahu apa yang sudah dilakukan Dahlan..
"Tapi tembok yang harus diterobos terlalu tebal," tulis Dahlan di laman Disway.id. Anda sebaiknya tak usah bertanya arti dan makna sebaris kalimat yang ia tulis itu...
"Kini sudah amat terlambat untuk memulai. Indonesia sudah pasti akan menyerahkan pasar ke pihak asing lagi," sambungnya.
Di artikel yang lainnya yang pernah saya baca, Dahlan juga menuliskan uneg-unegnya lagi "Tentu saya senang-senang-sedih. Senang karena mobil listrik menjadi kenyataan. Sedih karena akhirnya harus impor. Terjadilah apa yang harus terjadi: 'zaman mobil listrik' tiba juga di tanah air. Dan sekali lagi kita hanya akan jadi pasar. Bagi mobil listrik asing."
Lantas, apakah kabar Hyundai Motor Group dan LG Chem yang tengah berencana mendirikan pabrik di Indonesia itu, langsung dan tidak langsung, membenarkan ramalan Dahlan seperti yang ditulisnya di disway "Dan sekali lagi kita hanya akan jadi pasar. Bagi mobil listrik asing"?
(Hmm.. sebaiknya saya putuskan membiarkan orang-orang yang berkompeten untuk menjawabnya).
Jika Anda membaca artikel-artikel dan berita di koran dan internet, mungkin pernah mendapat kesan bahwa rencana mobil listrik, lithium dan industri nikel kelihatannya ideal, berjalan semestinya dan beres. Tetapi, saya memiliki pendapat lain: sebenarnya tidak seperti itu! Â Persoalan yang muncul, saya meyakini, tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Indonesia bisa jadi saat ini sedang menghadapi masalah teknologi lithium yang tidak gampang. Tidak sesederhana seperti yang saya tulis di atas.
Kita barangkali bisa menggunakan Lithium, tetapi: bagaimana nasib kontraktor bahan bakar fosil, sistim transportasi, instalasi yang sudah dan sedang akan dikerjakan? Bagaimana takdir bisnis yang sudah dan sedang berlangsung yang melibatkan puluhan atau ratusan ribu karyawan? Yang melibatkan pihak asing itu? Apalagi tawaran-tawaran yang lebih menarik itu ternyata malah datang dari negeri yang sebagian pihak kurang sukai: Tiongkok!!
Mata dunia kini sedang melihat Indonesia. Melihat dengan nyata kejayaan minyak yang dibiarkan digerogoti Lithium. Biarpun ada Covid-19 dan kemarahan karena kematian George Floyd. Biar pun ada perang dagang Amerika-Tiongkok yang masih seru.
Mobil listrik tak hanya sekedar Lithium dan nikel dan bisnis, tetapi juga politik. Lithium sudah menimbulkan ketidaksenangan dan kegeraman banyak pihak. Lithium akan membuat banyak pihak sekarat dan menunggu ajalnya. Setidaknya drama serupa opera yang kini sedang dipertontonkan menunjukkan kepada kita bahwa Lithium dan nikel itu tak sekedar urusan bisnis semata.
Sumber foto ilustrasi: Kompas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H