Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Monik, Ros, dan Fenomena Prostitusi Online

19 Juni 2020   11:12 Diperbarui: 19 Juni 2020   11:16 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jasad Monik alias Oktavia Widyawati, 33 tahun, kini sudah tertutupi tanah. Monik, seorang terapis pijat, menemui ajalnya setelah dibunuh pelanggannya sendiri di Jalan Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya (16/6/20). Lakarsantri adalah perkampungan yang tidak jauh dari tempat tinggal saya.

Pelaku pembunuhan terapis pijat tersebut sudah ditangkap. Ia adalah Yusron Firlangga, pemuda yang berstatus mahasiswa jurusan teknik sipil di salah satu universitas di Surabaya.

Berdasarkan catatan yang masih saya ingat sampai hari ini, kekerasan yang diakhiri pembunuhan terapis atau PSK oleh pelanggannya sendiri seperti yang dialami Monik, sebenarnya, bukanlah kejadian pertama kalinya tetapi sudah terjadi berpuluh-berpuluh tahun di belakang. Sejak dulu, berita-berita pembunuhan gadis malam yang dibunuh sendiri oleh pelanggannya kerap menjadi topik berita eksklusif dan pembicaraan.

Monik, sebagaimana diberitakan banyak media, adalah seorang terapis pijat yang memasarkan jasanya melalui aplikasi online. Mengapa ia harus menjalani pekerjaan tertua dalam peradaban manusia dan seperti apa sebenarnya prostitusi online itu?

Sejak reformasi gerakan massal menutup lokalisasi pelacuran, banyak orang -- atau bisa jadi Anda, mungkin pernah mendapat kesan bahwa, sejak satu persatu tempat pelacuran itu ditutup maka mereka akan secara otomatis menghentikan praktek pelacuran. Benarkah?

Apa yang terjadi kemudian? Setelah satu persatu tempat mereka mengais rejeki itu ditutup?

Anggapan bahwa, sejak satu persatu tempat pelacuran itu ditutup maka mereka akan secara otomatis menghentikan praktek pelacuran, sebenarnya adalah anggapan yang keliru. Yang benar, setelah satu persatu tempat mereka mengais rejeki itu ditutup, adalah: berpindahnya praktek-praktes pelacuran dari rumah bordir ke pelacuran online atau prostitusi online yang memanfaatkan media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Wechat dll. 

Kini mereka tak perlu lagi duduk di depan pintu rumah-rumah bordir di gang-gang sempit sembari menyapai ramah setiap pria yang melintas. Mereka sekarang tinggal menunggu di kamar-kamar sembari memerhatikan setiap notifikasi yang muncul di telepon pintar mereka.

Para germo, melalui aplikasi itu, memasarkan perempuan-perempuan cantik yang jadi anak asuhnya, gadis-gadis di bawah umur atau bahkan ada yang mahasiswi. Tetapi, selain itu, ada juga yang berjualan atas inisiatif mereka sendiri- tanpa perantara gemo, seperti Monik itu.

Yaps, pekerjaan tertua dalam sejarah manusia itu sekarang telah berubah menjadi bagian dari dunia digital. Keunggulan internet dan media sosial menjadi magnet untuk mencari pelanggan atau pemakai.

Meski tak sama persis, tetapi kisah monik yang mati dibunuh pelanggannya sendiri itu langsung mengingatkanku pada Ros, yang poninya seperti anak SMP, yang sudah menjadikan dirinya sebagai "pahlawan" bagi keluarganya, yang sedikit kisahnya pernah saya tulis di artikel yang saya beri judul "Ros, Mawar Merah di Cawan Retak".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun