Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Aku dan BPJS

15 Mei 2020   15:27 Diperbarui: 15 Mei 2020   16:01 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: finansial.bisnis.com

Setelah sempat dibatalkan Mahkamah Agung dan melalui perdebatan panjang sebelumnya, Pemerintah akhirnya (kembali) memutuskan menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) mulai Juli 2020.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan memprediksi tanpa ada kenaikan iuran, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan terjadi dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Selain defisit keuangan, BPJS Kesehatan juga dikabarkan sedang dihantui persoalan penyimpangan (fraud) atau korupsi dalam pengelolaan keuangan.

Banyak yang mempersoalkan kenaikan iuran dan lalu beramai-ramai membicarakannya. Kenaikan iuran BPJS, saya yakini sebelumnya, persis dan serupa dengan kisah-kisah yang sebelumnya; ada yang setuju dan ada yang tidak. Bagi yang tidak setuju, mereka menganggap kenaikan BPJS di tengah Corona sama saja dengan menipu dan (bahkan) menzalimi rakyat.

Lantas, apakah melalui tulisan ini saya ingin ikut bergabung dalam debat pro-kontra pendapat masyarakat tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan?  

Tidak. Sama sekali tidak. Saya tidak ingin menulis tentang putusan mahkamah agung, tentang pendapat yang pro dan kontra, dan tentang hantu persoalan penyimpangan sebab saya tidak suka berdebat dan mendengarkan debat.

Melalui tulisan pendek ini saya hanya ingin menulis dan membagikan kepada pembaca K anggapan dan pengalaman saya ikut menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Sedari awal saya sudah menganggap iuran BPJS Kesehatan adalah serupa dengan sedekah. Dengan demikian saya tak pernah berpikir keuntungan apa yang akan saya dapat dengan ikut BPJS Kesehatan. 

Bagi saya, dengan ikut BPJS berarti saya telah ikut membantu orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan atau ingin dibantu seperti (misalnya) salah satu saudara saya sendiri yang pernah menjalani satu operasi di rumah sakit umum di Surabaya setahun silam. 

Setelah selesainya proses operasi itu, saudara saya (ternyata) hanya membayar sejumlah uang yang tak sampai 75 ribu rupiah. Saya sangat kaget. Sebab seharusnya biayanya pasti besar. Dan benar saja, menurut kabar dari dokter yang merawatnya, jika tidak ada BPJS, saudara saya mestinya harus membayar sejumlah paling tidak 35 juta rupiah.

Sungguh, kisah setahun silam itu membuat saya terharu.

Karena sedari awal saya menganggap iuran BPJS Kesehatan adalah serupa dengan sedekah, maka saya pun tak pernah berpikiran ingin mendapatkan layanan gratis pengobatan. Tidak sama sekali. Sebab, saya (istri dan anak-anak saya) memiliki kartu-kartu lain yang, maaf, kelasnya lebih baik dari BPJS. Tetapi meskipun saya tak pernah sekalipun menggunakan kartu BPJS, namun saya tetap berniat menjadi peserta dan membayar iurannya setiap bulan.

Dan, selain saya dan keluarga saya ikut menjadi peserta BPJS Kesehatan, saya juga ikut membantu membayari iuran BPJS Kesehatan untuk sebelas (11) orang peserta atau orang lain (mereka bukan anggota keluarga saya). Niat saya hanya ingin membantu mereka. Tidak lebih.

Saya menganggap dengan ikut menjadi peserta BPJS dan membantu membayari 11 orang lain mulai Oktober 2015 itu adalah bukti bahwa saya sudah melakukan satu hal kecil membantu meringankan kewajiban negara terhadap rakyatnya, terutama untuk mereka yang tidak mampu.

Saya menganggap dengan ikut menjadi peserta BPJS tidak untuk berjaga-jaga jika nanti saya sakit, sebab saya tidak berharap besok, lusa dan nanti saya akan sakit.

Saya menganggap jika saya bisa melakukan yang baik mengapa saya menunda melakukannya?

Jika itu yakini adalah hal baik, mengapa saya merasa khawatir melakukan yang baik?

BPJS dan sejenisnya, menurut anggapan saya juga, adalah salah satu cara mengajari saya hidup untuk tidak hanya memikirkan diri saya dan keluarga saya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Hidup itu untuk peduli. Untuk mengasihi orang lain. Hidup itu adalah kesempatan untuk berbagi dan berbuat baik kepada sesama.

Semoga tidak ada yang berkata, saya bisa menulis dan berbicara seperti ini karena posisi saya bagus sehingga saya mendapatkan gaji atau pendapatan berlebih...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun