"Saya mau pulang ke besok, mas. Istirahat di rumah dahulu," begitu pesan yang saya baca di gawai, siang kemarin. Pesan dari El, teman saya.
"Kamu sudah ceritakan ke istrimu?"
"Belum. Nanti saja di rumah, " balasnya. Â Â Â Â
"Ok, ok..." lalu klik.. aku menyudahi perbincangan.
Kepada saya, beberapa hari lalu, El sudah bercerita sebelumnya, bahwa ia terpaksa "istirahat" hingga waktu yang tidak dapat dipastikan karena perusahaan tempat bekerjanya sekarang sedang terjungkal karena Covid-19 sialan itu. El memaksa memilih pulang ke kampungnya di Sayung Demak daripada harus tinggal di Jakarta. Biaya di Jakarta, katanya, mahal dan ia tidak ada sedikitpun pendapatan. Saya pun bisa segera membayangkan wajah istrinya yang sedang hamil itu pasti akan gundah gulana ketika mendapati kenyataan suaminya, yang menjadi tulang punggung ia dan 2 anaknya, sekarang menjadi pengangguran....
Kang Yayan juga demikian. Sejak dua (2) minggu lalu, aku juga sudah tidak lagi melihat ia mengayuh sepeda dengan setang yang penuh rentengan kopi sachetan, yang biasanya aku nyaris jumpai di hampir setiap sore di sekitar Dea Tower, Kuningan, Jakarta.
Perempuan berjilbab penjaja gorengan keliling dengan sepeda juga aku lihat berdiri sendirian di depan proyek besar yang sudah tutup sejak tiga (3) minggu lalu, tak jauh dari kantor saya. Sore itu, saya melihat ia menoleh-noleh ke kiri dan kanan, mungkin sedang berharap, bakal ada beberapa pekerja proyek yang masih bekerja dan membeli dagangannya. Tetapi, ia salah. Hingga beberapa saat, ternyata, tak ada seorangpun yang mendatangi sepedanya.
El, kang Yayan dan ibu berjilbab itu tentu saja hanya sekedar contoh kecil dari ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan lainnya yang senasib yang sudah kalah oleh Covid-19. Kehidupan mereka pun perlahan-lahan berubah. Suka atau tidak suka, terima atau tidak terima, semua harus menyesuaikan diri.
Drama kelam orang-orang itu semuanya berawal dari sekitar Desember 2019 lalu, saat dunia dikejutkan oleh Covid-19 yang ditemukan di Wuhan, Tiongkok, yang tiba-tiba menyebar dengan cepat.
Penemuan itu sontak menjadi berita utama seluruh media cetak, media elektronik, dan media sosial. Orang-orang memperbicangkannya. Setiap hari.
Saat saya memutuskan tetap mengerjakan pekerjaan di kantor, dari luar jendela kaca lantai 15, jalanan yang biasanya ramai dan macet kini juga tidak kalah suram: senyap, lengang dan menyiratkan keputusasaan.
Orang-orang tumbang. Ekonomi tumbang.
Saya tadinya mengira bahwa Covid-19 bakal hanya akan menumbangkan orang-orang dan ekonomi saja. Tetapi, ternyata, dugaan saya salah. Covid-19 ternyata juga merubah cara hidup manusia!
Kapada saya, melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp, beberapa teman saya bercerita tentang hidup mereka yang tak lagi seperti orang-orang normal. Saat bangun, pada subuh hari, menurut mereka, tiba-tiba saja perasaan sangat takut, was-was, deg-degan dan sangat gelisah datang menyergap begitu saja. Mereka seperti terus-menerus teringat rangkain kata-kata "berbahaya", "ribuan meninggal" dan "pasti akan mati" yang masuk ke mesin android dan lantas mereka baca. "Jantung saya berdegup kencang begitu saja. Saya takut, mas," kata mereka.
Ada pula teman saya yang tiba-tiba menjadi pendoa yang sangat rajin. Usai setiap anggota group memposting kabar-kabar menakutan karena Covid-19, jari jemarinya akan secepat kilat menulis balasan "Ya Allah, ya Rabb... tolong angkat azab-Mu Ya Allah! Ampuni kami ya Rabb... Amin, Amin Ya Rabbal 'Alamin.." lalu diikuti emotikon sedih dan menangis. Demikian seterusnya. Selama berminggu-minggu. Padahal, itu hal yang tak pernah dilakukannya sebelum Covid-19 menjalar kemana-mana.
Pesuruh kantor tempat saya bekerja juga tiba-tiba menjadi rajin mengerjakan ibadah Sholat usai suhu tubuhnya dirasakan agak meninggi. Padahal, sebelumnya, yang saya tahu, jarang sekali ia mengerjakan kewajiban sholat.
Ada juga kisah pak Gendut, penjual soto Lamongan di dekat pasar Mencos, Karet Setiabudhi. Suatu hari, saat saya datang ke warungnya hendak membeli soto, ia saya dapati mengomel-ngomel tak keruan dan (maaf) berkata jorok usai dua (2) orang pembeli daganganya mengatakan lebih baik ia tak jadi membeli karena pak Gendut tak memakai masker dan sarung tangan. Mungkin maksud pembeli itu baik, untuk mengingatkan (demikian menurutku). Tetapi, (mungkin saja) karena merasa dituduh menjadi biang penular virus, pak Gendut menjadi tidak terima dan memarahi dua orang pembelinya.
"Tidak usah beli di sini juga tidak apa-apa," suara pak Gendut masih meninggi saat saya datang lalu menaruh bokong di kursi kayu panjang.
Beberapa hari lalu, saya juga dikirimi tutorial singkat tentang cara dan apa yang harus dilakukan, semasa Covid-19 mewabah, setelah kita sampai di rumah sepulang dari bepergian. Katanya, ketika mau masuk rumah, sandal harus dilepas di luar lantas disemprot dengan disinfektan. Tidak itu saja, berbagai barang bawaan kita juga harus disemprot. Dan, kalau pulang dari berbelanja, bungkus belanjaan harus dilap dengan alkohol atau harus langsung dibuang.
Dan, itu semua ternyata belum cukup. Setelah sepatu disemprot, kita diminta juga jangan langsung duduk atau rebahan. Langsung ganti baju dan mandi.
Duh.. Â Alangkah "rumitnya" hidup sekarang.
Boleh jadi, teman-teman saya yang gelisah dan ketakutan itu, teman saya yang tiba-tiba rajin berdoa dan sholat atau sekelompok masyarakat yang menolak jenazah yang meninggal karena Covid-19 yang membuat tatu ati itu, sebenarnya, sedang tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang menyusup dalam jiwa mereka, merambati tubuh melalui pembuluh-pembuluh, yang dikirim menuju kepala, menstimulasi otak lalu hadirlah ketakutan, kecemasan, perasaan was-was dan bahkan perasaan "jangan-jangan besok saya meninggal".
"Berita-berita buruk dan menakutkan itu tidak akan pernah habis kamu baca, "kata teman saya memberi saran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H