Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Benarkah Soal-soal Anak SD Dibuat Terlalu Sulit?

18 Oktober 2019   09:47 Diperbarui: 19 Oktober 2019   01:30 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar ilustrasi: nationalgeographic/grid.id

"Yah, tolong bantu mengerjakan PR matematika untuk Farah. Ditunggu. Cepat!" suara dalam hape saya membuat saya hampir terpelanting dari mimpi. Jarum jam masih menunjukkan pukul 03.00 dinihari.  

Meski masih sangat mengantuk, namun pesan "penting" dari istri saya itu, ternyata, membuat saya tidak berhasil tidur kembali.

Usai membuat secangkir kopi sachetan, saya buru-buru men-download soal matematika yang dikirimkan istri saya melalui aplikasi pertukaran pesan. Usai mendonlot dan melihat soal-soal itu, saya agat kaget. 

Saya, ternyata, tidak bisa mengerjakan soal-soal itu semuanya. Ada beberapa yang sulit. Maka, saya pun terpaksa membuka internet mencari-cari soal yang serupa untuk menyelesaikan soal-soal sulit itu.

"Ini gara-gara Sinta (kakaknya Farah) tak bisa mengajari adiknya kemarin malam," tulis istri saya usai saya kirimi jawaban soal sejam kemudian. 

"Mungkin karena kesal adiknya tidak lekas paham, atau Sinta juga tidak paham, kakaknya mengajari adiknya dengan setengah marah-marah. Farah menangis sesunggukan."

"Hanya dua soal yang sempat mereka berdua kerjakan tadi malam sebelum Farah menangis. Farah lalu aku ajak tidur."

"Tentu saja. Soalnya sulit," balasku.

"Mama  tidak bisa mengerjakan," begitu pesan istri saya diiringi emoticon sedih bertubi-tubi.

Saya tak berniat membalasnya. Yang jelas, usai itu, saya hanya bisa membatin: kasihan Farah. Ibunya yang menjadi sandaran terakhir di rumah, yang seorang sarjana itu, ternyata, harus menguras banyak pikiran bahkan harus menyerah untuk sekedar membantu anaknya menyelesaikan soal (PR matematika) yang dibuat untuk anak kelas tiga SD. Kakaknya yang sudah duduk di SMA jurusan IPA juga serupa. 

Suatu pagi, ketika saya pulang ke Surabaya, saya pernah berkesempatan mengantarkan Farah sekolah. Menaiki motor matik, tas Farah berusaha saya taruh di depan, diantara setang dan sedel motor. 

Saya berusaha menaruhkan tas dan terkejut karena (ternyata) ruang antara setang dan sedel sepeda motor itu tidak muat untuk ditaruhi tas anak saya yang masih kelas tiga SD yang isinya buku-buku semua itu.

Mengingati kejadian betapa sulitnya saya menaruh tas sekolah anak saya di sepeda motor dan ketidakberdayaan ibunya yang sarjana membantu mengerjakan soal matematika beberapa hari yang lalu itu, membuat saya tiba-tiba menjadi seperti orang bodoh karena pertanyaan konyol tiba-tiba saja melintas di otak kepala saya. 

Apakah soal-soal sekolah anak saya yang sulit itu dan tas sekolah yang menggelembung besar dan berat itu hanyalah wujud atau representasi/aktualisasi program-program pendidikan yang menginginkan otak pendidik bisa dimuati rupa-rupa ilmu? 

Atau, barangkali, ini yang disebut dengan pelajaran yang terintegrasi itu, yang katanya, harus berbeda dengan pendidikan saya zaman dahulu?

Saya pernah membaca beberapa artikel di koran langganan kantor dan di kanal-kanal informasi yang menyebutkan bahwa pendidikan zaman sekarang itu memang didesain untuk bisa memenuhi tuntutan 8 standar pendidikan, yaitu: 

  • Isi, kompetensi, proses, sarana dan prasarana, pengelolaan atau management, pembiayaaan pendidikan, penilaian dan standar pendidik dan tenaga kependidikan.

Saya benar-benar tidak paham apakah PR matematika anak saya yang sulit itu memang saling berkait-kaitan dengan 8 standar pendidikan nasional?

Atau, jangan-jangan, saya dan istri saya, mungkin abai atau sangat awam dengan kurikulum sekarang sehingga tidak paham jika semuanya memang saling dan harus berkait-kaitan. Belum lagi berbicara soal globalisasi, seperti pendidikan yang berstandar internasional itu, yang juga diikuti oleh anak saya.

"Doube degree, yah," kata istri saya.

Benarkah soal untuk anak-anak SD itu dibuat terlalu sulit?

Sebuah perusahaan kursus pendidikan di rumah, Oxford Home Schooling, pernah melakukan survei untuk mengetahui apakah orang-orang tua mereka cakap dan bisa mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah anak-anak mereka. 

Hasilnya, ternyata, menunjukkan bahwa hanya ada sepertiga (33%) orang tua yang merasa percaya diri bisa memberikan bimbingan kepada anak-anak mereka ketika ditugaskan membantu tugas sekolah mereka.

Penelitian ini menggunakan sampel 1.000 orang tua yang diberikan sebanyak tiga pertanyaan pekerjaan umum kelas 3 yang ditulis/disiapkan bersama dengan guru sekolah dasar Victoria Humphreys.

Hanya satu dari 16 peserta yang mampu menjawab ketiga pertanyaan dengan benar, yang diambil dari silabus kunci tahap dua untuk bahasa Inggris, matematika, dan sains.

Dari mereka yang mengambil bagian dalam penelitian ini, hampir seperempat mengatakan mereka merasa "ditekan" ketika diminta oleh anak mereka untuk membantu pekerjaan rumah, sementara lebih dari tiga perempat mengakui bahwa mereka sering menggunakan internet untuk membantu menjawab pertanyaan yang mereka hadapi.

Penelitian itu menemukan bahwa lebih dari sepertiga orang tua sekolah dasar berpikir anak-anak mereka stres karena pekerjaan. Banyak dari mereka berusaha membantu anak-anak mereka dengan menggunakan asisten, seperti Google, jika diperlukan.

Meski hanya menggunakan sampel 1.000 orang tua dan dilakukan di luar negeri, tetapi, hasil penelitian yang dilakukan Oxford Home Schooling itu mungkin (juga) merepresentasikan apa yang terjadi di Indonesia. Dari enam teman-teman saya yang saya tanyai, semuanya menceritakan kisah yang serupa dengan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun