Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mempunyai Pendapat Berkebalikan dari Kebanyakan Orang Itu Sulit

11 Oktober 2019   11:11 Diperbarui: 11 Oktober 2019   13:00 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU KUHP dan UU KPK tengah ramai diberitakan, diperbincangkan dan diperdebatkan. Beragam tanggapan pun muncul. Di panggung media sosial juga sama: riuh dikomentari. Seperti biasanya.

Saya tadinya mengira, keriuhan komentar itu (mungkin) hanya akan ada dalam mesin gawai saya saja. Tetapi, ternyata saya salah.   

Dampak perdebatan RUU KUHP dan UU KPK, bagi (kehidupan) saya, benar-benar tidak masuk akal. Meski saya (sebenarnya) tidak menyukai dan lebih kerap menghindari debat bertele-tele yang membosankan, tetapi, ternyata, saya akhirnya tetap tidak bisa menghindarinya. 

Setelah "bersitegang" dengan teman-teman saya, saya pun harus terpaksa "kehilangan" mereka gara-gara RUU KUHP dan UU KPK itu.  

Bram, teman saya yang menjadi pekerja kantoran, pernah menyemburkan berpuluh-puluh kalimat yang tentu saja ia barengi dengan dalil-dalil yang ia yakini benar menurut formatnya sebelum ia akhirnya tak bertegur sapa dengan saya usai saya sampaikan pendapat bahwa saya setuju dengan revisi UU KPK.

Mbak Ida, teman saya yang lain, juga menjauhi saya dan tidak bertegur sapa hingga beberapa minggu usai kepadanya saya sampaikan pendapat saya tentang RUU KUHP. Saya merasa salah, ia (ternyata) tidak saja seperti kebanyakan orang yang tidak setuju UU KUHP direvisi, tetapi ia juga pengagum sistim Islam yang sedang ramai diperbincangkan hari ini. 

Maka, usai saya sampaikan pendapat saya, tak hanya opininya saja yang ia sampaikan tentang KUHP, tetapi dalil-dalil Alqur'an pun ia hambur-hamburkan untuk meneguhkan saya sedang salah.

Usai kejadian itu, maka, tegur sapa dan jawab singkat yang biasanya renyah ketika kami berjumpa di warung mpok Ijah, warung di pojok gang dekat kostel yang saya sewa, sekarang sudah tidak ada lagi. Bram dan mbak Ida lebih sering memilih bergegas membayar belanjaannya lalu pergi ketika saya tiba di warung hendak membeli kopi.

Padahal, dahulu, aku sangat menikmati obrolan mereka, dan sesekali ikut memberikan komentar kecil ketika kami berbincang-bincang tentang pekerjaan masing-masing. Atau ketika kami sedang berbicara tentang unicorn Indonesia yang gagah itu.

Di forum-forum WAG dan media sosial yang saya ikuti, keadaannya juga nyaris sama. Di ruang yang kerap disebut sebagai pabrik hoaks yang polusi dan dampaknya kini sudah merusak kemaslahatan umat, saya beberapa kali malah disebut oleh mereka sebagai "buzzer" dan "cebong".

"Penjilat," kata mereka.

Mendapati umpatan itu, saya pun lebih memilih diam tidak memberikan respons. Ingin saya sedikit memberikan tanggapan dari banyak kalimat yang sebenarnya ingin saya tumpahkan bahwa saya tak pernah menerima bayaran sedikit pun seperti buzzer-buzzer lainnya yang sudah turut membangun opini publik atas kampanye (politik) yang tertentu.

Saya ingin sekali menyampaikan bahwa, perbedaan reaksi dan tanggapan, menurut pendapat saya, sebenarnya, bukanlah hal buruk. Itu justru baik untuk membawa demokrasi kita menjadi lebih dewasa. Tetapi, sayangnya, sekaligus sialnya, fakta yang muncul ke publik ternyata lain. 

Perbedaan justru dimanfaatkan oleh elit politis atau oleh kelompok yang tidak suka dengan Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dengan cara membolak-balikkan narasi.

Dan, sialnya (lagi), itu dilakukan pada saat kesadaran politik dan literasi rakyat juga masih rendah.

Tetapi, ternyata, saya masih beruntung. Saya masih memiliki Baskoro, teman baik saya.

"Ayo lah mas, kita nge-teh bareng lagi. Pemandangan Kota Tua menjelang malam pasti sangat istimewa untuk difoto," saya menuliskan pesan itu di mesin gawai saya. Saya tahu, Baskoro adalah penyuka fotografi. Ia pasti tidak bisa menolak jika saya temani dia mengambil foto-foto eksotik kota tua itu.

Maka, secangkir teh, di sebuah kafe, di kota tua Jakarta, beberapa hari yang lalu, akhirnya bisa menjadi teman hangat ketika saya mulai mengisahkan semua cerita-cerita "tidak masuk akal" dan cerita tentang kegelisahan saya mengapa orang sulit sekali menerima pendapat yang berbeda?

"Ternyata, mempunyai pendapat atau opini berkebalikan dari kebanyakan orang itu sangat sulit, Mas," kata saya.

Baskoro adalah teman yang baik. Ia mau mendengarkan "keluhan" saya dan memulai menceritakan pikiran-pikirannya yang unik tentang ragam psikologi manusia.

"Orang memiliki cara-caranya sendiri (yang berbeda-beda) untuk mengolah dan memaknai ribuan informasi yang ia serap. Cara-cara mereka itu banyak dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman hidup, budaya, adat isitiadat, pendidikan dan sebagainya. Pengalaman dan perjalanan hiduplah, juga ilmu pengetahuan yang ada di kepalanya dan suara hati juga menentukan," katanya.

"Kata orang bijak: You are what you eat," imbuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun