Pro dan kontra proyek pelebaran trotoar di Jakarta masih (terus) berlanjut hingga hari ini. Sejak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengedepankan gagasan penggunaan kaki sebagai alat transportasi, kisah kontroversinya pun terus menarik untuk diikuti.
Seperti yang dituliskan oleh banyak media, Gubernur DKI Jakarta itu memang sedang berupaya mendorong masyarakat untuk hidup sehat dengan cara berjalan kaki.Â
Untuk itu, Anies mengaku akan terus memperlebar trotoar Jakarta hingga 2020. Maka, sebagai dampak dari gagasannya itu, ruang jalan ibu kota pun kini menjadi sempit. Yang awalnya 3 lajur kini banyak yang tinggal 2 lajur saja.
Tetapi, Anies tampak seperti tidak memedulikan ruang jalan yang menyempit itu. Ia beralasan, bahwa konsep trotoar yang diusungnya itu merujuk kepada pikiran (pandangan) bahwa kaki adalah alat transportasi yang (faktanya) kian jarang digunakan masyarakat karena kemudahan transportasi yang tersedia saat ini.
"Apa alat transportasi yang hampir semua orang punya?" tanya Anies.
"Kaki. Kaki adalah alat transportasi yang InsyaAllah kita semua punya," katanya.
"Tapi kita seringkali kalau mikir transportasi, tidak memikirkan kaki. Segalanya langsung naik motor, naik mobil," sambung Anies.
Menurut Anies, perubahan wajah baru kota Jakarta itu tidak seharusnya dilihat hanya kepada perubahan fisik saja. Perubahan cara masyarakat memandang (sesuatu) juga disebutnya sebagai perubahan.Â
Maka, begitu masyarakat mulai merubah cara pandang dan melihat kaki sebagai alat transportasi, selanjutnya, adalah menjadi tugas pemerintah untuk menyiapkan sarananya.
Untuk mewujudkan visinya itu, sekaligus harapannya, Anies pun mengambil langkah-langkah yang tidak setengah-setengah. Katanya, sebanyak tiga puluh satu (31) titik atau ruas trotaor di Jakarta akan segera dibenahi, termasuk beberapa titik trotoar di jalan Prof. DR. Satrio-Mega Kuningan.
"Padahal trotoar yang lama sudah cukup lebar mas. Pejalan kaki juga hanya beberapa orang," kata beberapa orang yang saya temui dan saya mintai tanggapannya tentang proyek pelebaran trotoar di jalan Prof. DR. Satrio.
"Seharusnya cukup diganti keramiknya saja," kata mereka.
Mereka umumnya menyayangkan pelebaran ruas trotoar di jalan Prof. DR. Satrio yang mengurangi/menghilangkan hingga satu lajur ruang jalan raya.Â
Di beberapa titik, seperti yang saya lihat, memang terlihat trotoarnya dibuat sangat lebar (bahkan lebih lebar dibandingkan jalan rayanya!). Maka, akibatnya, jalan yang biasanya sangat macet itu kini kian macet saja.
Apakah langkah dan harapan Anies untuk mengurangi kemacetan dengan cara memperlebar beberapa titik (ruas) trotaor akan berhasil? Apa indikator yang akan digunakan dan disepakati bersama untuk mengukur keberhasilan program Anies itu?
Apakah program Anies, (bagi saya - seperti judul artikel ini), bakal bisa melawan realitas dan kebiasaan?
"Melawan realitas dan kebiasaan?" tanya El, teman saya, saat kami bersama-sama menyantap makan siang di warung mak Ijah kemarin siang. Warung mak Ijah terletak tidak jauh dari kawasan bisnis Mega Kuningan Jakarta.
"Ya," jawab saya sembari menyeruput es teh setengah manis.
"Bukankah, adalah fakta dan realitas, bahwa orang Indonesia adalah masyarakat paling malas untuk berjalan kaki?"
El menggeser kursinya.
"Seberapa kerap kita menemukan orang-orang di sekitar kita yang (katakanlah) mau membeli roti dan tisu di Indomart saja mereka harus naik motor atau (bahkan) mobil?"
Kepada El, saya lantas mengingatkanya kepada hasil sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2017 oleh para peneliti dari Universitas Stanford, Amerika Serikat. Studi tersebut menemukan fakta bahwa orang Indonesia (ternyata) adalah orang paling malas berjalan kaki.
Menurut studi yang diterbitkan di jurnal Nature itu, rata-rata orang Indonesia hanya berjalan 3.513 langkah setiap hari. Jumlah itu sangat jauh jika dibandingkan dengan kebiasaan masyarakat luar negeri.Â
Masyarakat Hong Kong, misalnya, yang menempati peringkat pertama sebagai negara dengan penduduknya yang paling rajin berjalan kaki biasa menempuh 6.880 langkah setiap harinya.
Pertama, mungkin sudah menjadi seperti budaya. Atau (mungkin) karena ada anggapan bahwa berjalan kaki itu kuno dan tidak praktis.
Selain itu, yang kedua ialah kondisi trotoar yang sebagian besar bisa disebut sangat tidak layak. Trotoar di kota-kota besar, di Jakarta misalnya, lebih kerap digunakan sebagai lapak atau tempat PKL berdagang, menjadi jadi tempat parkir, atau jalan alternatif bagi motor ketika jalanan sangat macet.
Akankah jurus yang diambil Anies ini akan jitu? Bukankah, ini yang sedang ramai dipercakapkan orang, bahwa trotoar yang (nantinya) bakal dibagi untuk pejalan kaki dan lapak berdagang akan kian membuat semrawut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H