Di tengah hiruk pikuk politik tanah air terkini dan "perang" itu, keadaan menjadi kian riuh dengan muncul dan ikut bermainnya follower-follower dan akun-akun anonim. Tugas mereka tak hanya mempercakapkan dan mentrendingkan tagar, tetapi juga menghina, mengejek dan merendahkan. Di alam mereka, nalar dibuat lumpuh.
"Untuk isu-isu besar nasional, Twitter masih menjadi medan perang," tutur Ismail Fahmi, Founder Media Kernel Indonesia, dalam satu acara diskusi publik "Di Balik Fenomena Buzzer" di Cikini, Jakarta Pusat. Tahun 2017 lalu.
"Perang informasi di mesin Twitter tak mengenal usai, meski Pilpres sudah selesai," begitu isi pesan singkat yang teman saya kirimkan ke ponsel saya.
Di Indonesia, dengan ratusan juta pengguna aktif, para pengguna media sosial tetap dan diyakini akan terus menjadi pasar sangat menarik untuk dilibatkan/ditarik ke dalam pusaran peperangan narasi dan duel informasi.
Buzzer, umumnya, akan memilih dan membagikan berita atau video-video dari situs media yang mendukung pembingkaian narasi atau isu hangat (politik) yang sedang mereka lakukan. Ini dilakukan dalam format yang tidak terbatas pada tulisan, tapi bisa juga gambar dalam bentuk meme maupun video yang diunggah Twitter dan/atau platform lainnya.
Ekosistem informasi ini dipilih dan dimanfaatkan mereka sebagai strategi untuk memenangkan duel informasi.Â
Papua adalah bagian dari NKRI. Hal ini sudah final. Jika sampai Majelis Umum PBB mengagendakan REFRENDUM bagi Papua, sudah selayaknya Presiden @jokowi mundur dari jabatannya. Kita perlu Presiden yang kuat, bukan yg "dicitrakan kuat", dan kuatnya itu tentu di dunia Internasional (@ustadtengkuzul, 10.21 AM; 30 Agt 2019).
Akankah isu Papua dan HAM yang sedang dibingkai itu akan berhasil memerosotkan wibawa dan kekuatan Jokowi setelah isu keturunan komunis, kemiskinan, LGBT, atau isu anti-Islam gagal menghadang Jokowi dalam Pilpres 2019? Â Â