Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Becak dan Kisah Gerai Giant di Ranah Politik

25 Juni 2019   19:19 Diperbarui: 26 Juni 2019   18:06 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JUMAT sore itu, di salah satu pasar di pinggiran kota Bekasi, beberapa tukang becak tampak berkerumun menunggu calon penumpang dengan penuh harap. Begitu dilihatnya seorang ibu keluar menenteng 2 tas kresek penuh barang belanjaan, salah seorang tukang becak segera menghambur ke pintu pagar besi. Wajah dan tangannya tampak mulai mengeriput. Dijungkitkannya sedikit bagian depan becaknya lalu ia menanya "mau pulang kemana bu?"

Tetapi, ibu itu tak lekas naik. Ia hanya mengangkat sedikit tangannya, menandakan ia tak butuh jasa bapak itu.

Sore itu, bapak tukang becak itu tak berhasil mendapatkan calon penumpang. Ibu setengah baya itu ternyata sudah memesan taksi melalui aplikasi online. Bapak becak itu meminggirkan kembali becaknya dengan lesu.

Melihat wajahnya, saya menjadi tidak tega.

Di pasar sore itu, bapak tukang becak itu tidak sendirian. Banyak tukang becak saya lihat berkerumun di pinggir trotoar yang ubinnya sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. Tetapi, sore menjelang maghrib itu adalah hari kelam bagi mereka. Kebanyakan orang yang usai belanja aku lihat telah dijemput taksi online, atau oleh kekasih dan keluarga mereka.

Zaman terus berubah. Dulu, puluhan tahun silam, becak (dan angkot) pernah berjaya. Orang kerap menggunakan jasa tukang becak untuk mengantar mereka pergi dan pulang dari satu tempat ke tempat yang lain. Tetapi, sekarang, sejak aplikasi taksi online dibuat, banyak orang tak lagi membutuhkannya. Sepertinya, jika tidak salah ingat, sudah lebih dari 10 tahun saya tak pernah lagi naik becak.

Kini, tukang becak dan sopir angkot hanya bisa lesu menghitung uang yang tak seberapa didapatkannya setiap hari. Zaman menggilas mereka.

Giant yang Kini Kesepian
Serupa dengan kisah becak, dahulu, jika saya pulang ke Surabaya, setelah beberapa minggu bekerja di luar kota atau luar pulau, saya kerap mengajak anak-anak pergi ke Giant di Maspion Square Surabaya. Kami kerap bermain-main atau sekedar makan bersama untuk menyenangkan anak-anak. Tetapi, sejak beberapa jengkal dari mall Giant berdiri mall lain yang lebih megah dan menyenangkan, anak-anak saya kerap melontar protes jika saya mengajak mereka pergi ke Giant di Maspion Square.

"Gak mau.... ahhhh! Malasssss!" sergah mereka.

"Sepi, yah...."

Mendengar mereka merengek, saya pun akhirnya mengalah.

Pendapat anak-anak saya tidak lah salah. Terakhir kali, sebelum hari raya 2019 kemarin, saya menyempatkan mampir ke Giant di Maspion Square Surabaya untuk membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Dan, memang benar lah adanya; Giant Maspion tampak sangat sepi. Tidak ada antrian. Beberapa mbak-mbak kasir terlihat duduk-duduk menatap kosong mesin kasir mereka.

Jika kita merujuk ke banyak artikel dan tulisan, ada beragam pendapat dari banyak ahli untuk menjawab pertanyaan mengapa sektor ritel berguguran. Banyak alasan dan rupa-rupa sebab disampaikan mereka. Rhenald Kasali, akademisi dan praktisi bisnis asal Indonesia, pernah mengatakan; lesunya bisnis ritel di Indonesia disebabkan karena ketatnya persaingan ritel modern di kota besar. "Dunia ini sedang shifting," kata Rhenald Kasali.

Mall dan toko besar yang dahulu berjaya dan merebut rejeki toko-toko kecil, sekarang terjungkal. Mereka tidak kuasa melawan teknologi yang mengubah platform hidup, ekonomi dan kehidupan. Anak-anak saya dan teman-teman saya sekarang mengaku lebih senang belanja sesuatu di online dari pada beli di toko atau mall konvensional.

Sama seperti kisah becak, mall dan toko besar kini banyak yang berguguran karena zaman, perubahan gaya hidup dan teknologi, meski (sebenarnya), jika kita melihat iklan, masih ada beberapa gerai besar yang terus bertahan, bahkan malah membesar. Tetapi, kisah gerai Giant, anak usaha PT Hero Supermarket Tbk (HERO), yang kesepian keburu menjadi pembicaraan banyak orang usai kabar rencana penutupan 6 (enam) gerai Giant yang beredar sejak beberapa hari lalu itu dikomentari oleh ekonom Rizal Ramli.

Rizal mengatakan ia sudah meramalkan tutupnya gerai (Giant) pada 3,5 tahun yang lalu.

Ia mengisahkan ramalannya itu di Twitter-nya, Senin (24/6/2019). "Hari ini sektor retail rontok: Giant tutup PHK, 80% Carrefour di jual ke Cina, Krakatau Steel PHK. Investor Cina pesta krn asset price anjlok. Terjadi pergantian pola kepemilikan! Jkw dikibuli," tulisnya.

Usai Rizal menuliskan kisahnya itu, beragam cuitan muncul, dari yang memihak sampai kontra dengan pendapat Rizal. "Pemerintah gak becus!" tulis salah satu netizen.

Benarkah apa yang dikisahkan oleh Rizal itu? Atau rontoknya Giant adalah karena perubahan platform hidup, ekonomi dan kehidupan? Atau karena persaingan bisnis seperti kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution?

Pada akhirnya, kisah sepinya Giant, kini bernasib sama seperti isu-isu seksi yang lainnya. Oleh para elitis, dengan ragam kemasan dan bahasa yang membangkitkan emosi, rupa-rupa isu akan terus dilontarkan dan dijadikan obyek narasi politik dan penegasan ketidakmampuan Pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun