Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Benarkah Selera Rendah Masyarakat Melahirkan "Jurnalisme Selera Rendah"?

12 Februari 2019   15:30 Diperbarui: 12 Februari 2019   20:45 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pertama kali menemukan dan membaca istilah "jurnalisme selera rendah" dari tulisan ilmiah "The Faces of Indonesia Press From 1999-2011" di "Malaysian Journal of Communication" yang ditulis oleh Erman Anom, profesor bidang komunikasi dan jurnalisme. Tulisannya sudah lama sekali.

"Jurnalisme selera rendah", kata Erman, adalah representasi wajah pers Indonesia saat ini. Wajah pers usai reformasi. Yang gegap gempita itu.

Meski, dalam tulisannya, Erman (sebenarnya) hanya menyebutkan ".....from 1999-2011". Tapi, tidak apalah. Itu tidak menjadi soal besar bagi saya.

Dalam uraiannya itu saya juga menemukan sebutan "jurnalisme plintiran" dan "jurnalisme talang air". Jurnalisme plintiran, kata Erman, adalah sebutan jurnalisme yang memutarbalikkan fakta dan opini.

 Sementara "jurnalisme talang air" adalah jurnalisme yang "menuangkan" begitu saja informasi ke halaman surat kabar tanpa dipilih-pilih terlebih apakah bakal ada dampak merugikan untuk masyarakat, bangsa dan negara.

"Jurnalisme selera rendah" dan "jurnalisme plintiran", oleh Erman, diberikan untuk pers kita saat ini karena ia melihat pers Indonesia pasca Reformasi yang dipandang terlampau gampang menyajikan berita-berita bias. 

Antara benar dan salah, antara fakta dan fitnah, antara hitam dan putih, antara opini dan fakta semuanya dicampuradukkan dan dilebur-lebur. Berurap-urap menjadi satu. Orang sulit lagi mengenali warna abu-abu: apakah itu hitam yang keputih-putihan atau putih yang kehitam-hitaman.

Erman bisa jadi sangat benar. Jurnalisme "kita" hari ini memang kerap dan gemar sekali mengolah dan menyajikan konflik, gosip, fitnah, kekerasan, seks, hoaks dan segenap sensasi yang lainnya.

Karena pasar dan satu atau dua sebab, jurnalisme dan hasil produknya kerap melupakan tanggung jawabnya terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Mereka tidak lagi peka dampak dan pertimbangan-pertimbangan matang sebelum merilis produk yang dihasilkannya.

Benarkah wajah pers kita hari ini sudah terlalu sesak oleh kepentingan beberapa gelintir orang atau elit, atau tokoh atau para pemilik modal?

Awalnya saya mengira, jika Erman, melalui uraian ilimiahnya dalam "The Faces of Indonesia Press From 1999-2011", mengemukakan dan menjlentrekkan demikian gamblangnya apa yang disebutnya sebagai "jurnalisme selera rendah" adalah karena kepentingan beberapa gelintir elit atau tokoh atau para pemilik modal, tetapi, setelah saya mencermati dan menghubung-hubungkan apa yang sebenarnya sedang terjadi di masyarakat, ternyata, tidaklah seperti dugaan awal saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun