Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Apakah Bohong itu Pidana?

4 Februari 2019   10:43 Diperbarui: 4 Februari 2019   12:58 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: detikcom


Ketika mengantar ke pihak kejaksaan, Atiqah Hasiholan, anak Ratna Sarumpaet yang selama ini diam, mengungkapkan pengakuan cukup mengagetkan. Ia mengatakan, benar bahwa ibunya memang berbohong tetapi ibunya tidak menyebarkan kepada khalayak umum, selain keluarga dan orang terdekat.

Atiqah Hasiholan memang datang untuk membela ibunya, Ratna Sarumpaet, yang kini terjerat kasus hoax dan ujaran kebencian. Atiqah mengatakan bahwa kebohongan Ratna itu tidak merugikan orang lain.

"Apa ada pasal dalam undang-undang yang mengatur kebohongan?" Begitu kira-kira pertanyaan Atiqah Hasiholan. Ia berharap Ratna Sarumpaet, Ibunya, bisa terbebas dari segala dakwaan.

Pengakuan dan pertanyaan Atiqah itu sangat menarik dan mengagetkan, saya pikir. Ia, entah disadarinya atau tidak, telah membuka ruang-ruang perdebatan yang lebar untuk banyak pihak baik di ruang sidang maupun di ruang laur sidang dan akan membuat kasus Ratna bisa menjadi kian kontroversial.

Ratna, seperti kita ketahui, memang telah mengakui berbohong. Kisahnya mulai menjadi ramai ketika diungguh oleh salah seorang politikus. Dalam berita dikatakan bahwa si politikus ini membenarkan adanya tindak penganiayaan.

Kisahnya pun lalu menjadi viral. Atau "sengaja" di-viralkan.

Konferensi pers pun lalu digelar. Pertanyaan kemana saja pemerintah pergi disuarakan. Di ruang  maya, orang beramai-ramai membuat "kesimpulan" Pemerintah sudah gagal menjamin keamanan warganya.

Masyarakat dan media sosial lalu menjadi riuh. Seperti biasa.

***

Jika kita menyimak dan mendalami pernyataan Atiqah Hasiholan yang membela ibunya, saya pikir, apa yang dikatakannya tampak seperti benar adanya. Apakah bohong itu merugikan? Apa ada pasal dalam undang-undang yang mengatur kebohongan? Dan apakah bohong itu Pidana?

Atiqah tampak seperti "beruntung" atau "diuntungkan" dengan pertanyaan itu. Ia, entah disadarinya atau tidak, telah membuka ruang-ruang perdebatan yang lebar.

Bahkan, saya pikir, oleh orang-orang sangat pintar, "apakah bohong itu pidana" pun bisa dikemas menjadi amunisi baru untuk menyerang kepolisian dan jaksa.

Bohong "mungkin" memang bukan tindak pidana, saya pikir. Tapi, seperti apa yang saya lihat dan sangat yakini, seperti yang sudah pernah terjadi, seperti yang sejarah sudah kisahkan, dampak dari "bohong" itu bisa melebihi dampak yang diakibatkan oleh tindak kejahatan melakukan pidana.

Bohong, atau hoax, (termasuk produk turunannya seperti ujaran kebencian), saya gambarkan seperti peluru-peluru sangat tajam.

Seorang mahasiswa di India pun terpaksa harus menghabiskan lima bulan hidupnya di jeruji besi gara-gara pesan bohong di WhatsApp. Mahasiswa itu, menurut berita lokal, terpaksa harus ditahan karena pesan yang beredar di grup WhatsApp dimana ia adalah salah satu anggotanya. Padahal, akunya, ia tidak mengirim pesan itu.

Di Indonesia, seperti dilansir dari banyak media, nasib yang serupa juga terjadi. Salah seorang warga Pontianak asal Kota Bandung, menjadi korban hoax isu penculikan anak. Massa yang kalap dan beringas memukulinya hingga nyawanya tidak bisa diselamatkan.

Di negara-negara Timur Tengah, akibat dari hasutan hoax jauh lebih mengerikan. Di negara-negara kawasan Timur Tengah, kelompok-kelompok yang tidak suka dengan Pemerintahan yang sah diketahui menggunakan media sosial sebagai alat perang. 

Mereka merekrut, melatih dan menggunakan organisasi-organisasi yang dibentuk dan dibayar untuk menyebarkan berita bohong dan hasutan di media sosial. Cara-cara mereka pun sangat rapi dan profesional.

Di Turki, pemerintahan yang sah juga menghadapi rupa-rupa hasutan. Agar rakyat membenci pemerintah.

Dengan memanfaatkan media sosial, baik itu twitter, facebook, instagram dll, mereka melancarkan kudeta. Pada bulan Mei 2016. Hasutan-hasutan gencar disebarkan melalui media sosial. 

Sialnya, rakyat Turki yang sedang dihasut, tidak menyadari. Mereka melahap setiap berita dan informasi yang sebar di media sosial tanpa mencerna.

Selain Turki, banyak lagi contoh dan tempat di Timur Tengah yang serupa dengan kejadian yang menimpa Erdogan. Konflik yang terjadi di banyak tempat, yang melingkar-lingkat tak karuan, dan tak kunjung usai, salah satunya juga disebabkan karena masyarakat yang gampang dihasut oleh kabar bohong.

Di jaman yang tanpa sekat dimana semua manusia bisa terhubung melalui benda kecil yang sangat ajaib, ribuan berita bohong soal makanan, soal simbol negara, soal nama, soal agama, soal gerhana, soal gambar mata uang, soal peristiwa itu dibuat, disebar, diungguh dan mematikan akal.

Apakah serbuan berita bohong itu semata-mata karena "bohong itu bukanlah pidana"?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun