Frans, mas Har, mbak Ningrum adalah sahabat-sahabat saya. Frans dan mas Har sudah menentukan pilihannya. Mereka akan memilih Jokowi tanggal 17 April nanti.
Frans dan mas Har akan tetap memilih Jokowi meski sang petahana itu diserang begitu rupa dengan isu-isu: PKI, anti Islam, aseng, asing, pro-China, dan lain-lain tuduhan yang hampir serupa, tetapi Frans dan mas Har, seperti yang dikatakannya kepada saya, tidak akan menanggalkan sedikitpun kecintaan mereka kepada Jokowi.
Di tempat yang lain, di waktu yang berlainan, saya juga mendengarkan cerita yang berkebalikan dari mbak Ningrum.
Sama seperti Frans dan mas Har, meski kepada mbak Ningrum saya sudah ceritakan dan sodorkan angka-angka, data-data statistik, grafik dan puluhan "bukti" pencapaian Jokowi, tetapi ia tetap memilih Prabowo. Wanita berkacamata tebal lulusan universitas bergengsi itu mengatakan kecintaannya setengah mati kepada Prabowo.
Usai mbak Ningrum mengatakan itu, saya sempat berfikir sedikit keras atau mungkin agak heran. Mengapa mbak Ningrum yang pintar (saya menduga demikian karena ia lulusan universitas bergengsi) bisa begitu saja mengabaikan angka-angka dan data statistik yang saya sodorkan? Bukankah orang-orang yang pintar itu, seperti yang saya ketahui dan yakini, umumnya sangat terbuka dan bersikap berdasarkan angka, data dan statistik?
Tetapi, mengapa mbak Ningrum tidak demikian?
Kisah Frans, mas Har dan mbak Ningrum pun akhirnya menjadi kisah dan catatan menarik saya.
Frans dan mas Har adalah orang-orang yang sangat konsisten. Mereka sama sekali tak memercayai isu-isu PKI, anti Islam, aseng, asing dan pro-China yang disemburkan demikian gencarnya. Mereka mencintai Jokowi.
Demikian juga dengan mbak Ningrum. Ia juga adalah orang yang sangat konsisten untuk tidak memedulikan puluhan data, angka dan statistik.
Grafik yang saya bawa yang menunjukkan penanjakan yang terus menerus sejak 2014 pun seperti barang yang sama sekali tak berguna di depan mbak Ningrum. Mbak Ningrum tetap mencintai Prabowo.
Awalnya, saya menganggap perbedaan pilihan dan keberanian orang untuk berbeda secara konsisten adalah kabar sangat menggembirakan. Ini, setidaknya, saya kira, menjadi awal sangat baik untuk demokrasi Indonesia. Lagipula, pilihan toh adalah soal rasa.
Namun, ternyata, setelah itu, saya justru menemukan istilah menarik: blind loyality.
Istilah ini saya temukan setelah saya membaca beberapa artikel yang mengulas tentang psikologi manusia (teori disonansi kognitif), blind loyalty dan hubungan antara keduanya.
Apa itu blind loyalty?
Menurut Urban Dictionary: blind loyalty (dalam bahasa Indonesia berarti loyalis buta), dalam pengertian umum, adalah pengabdian dan kesetiaan kepada suatu bangsa, tujuan, filsafat, negara, kelompok, atau kepada seseorang (tetapi kebablasan).
Loyalitas buta atau loyalitas yang kebablasan melibatkan bentuk disonansi kognitif di mana seseorang melihat bukti adanya masalah, perilaku atau sesuatu yang buruk dan kemudian menutup mata terhadap semua kebenaran, data dan informasi demi mempertahankan citra positif orang yang disanjungi tersebut.
Disonansi kognitif bisa dimaknai merujuk kepada situasi yang melibatkan sikap, keyakinan, atau perilaku yang saling bertentangan.
Bahwasanya para perokok itu tahu dan meyakini bahwa merokok itu menyebabkan penyakit (kanker atau kognisi), tetapi mereka tetap saja merokok. Itulah contoh sederhana bagaimana sikap, keyakinan, atau perilaku yang saling bertentangan bercampur-campur.
Dalam konstruksi anggapan yang mereka bangun, orang-orang dengan sikap, keyakinan dan/atau perilaku yang saling bertentangan, menganggap apapun dan semua yang dilakukan orang-orang yang dia tidak sukai adalah salah. Semua salah. Berjalan salah. Diam juga salah. Maka, data, informasi, angka dan bukti pun tak lagi penting.
Pertanyaan menariknya adalah: siapakah yang bisa saya sebut sebagai loyalis buta itu? Apakah Frans dan mas Har? Atau apakah mbak Ningrum?
Mencintai calon presiden yang dicintainya, menjadi partisan, dan semua ekspresi demokrasi sebenarnya takkan pernah buruk saya kira.
Tapi bila cinta itu sudah membabi buta dan lalu menafsirkan apa-apa yang dilakukan orang lain sebagai salah, lalu membenci orang lain, dan kelompok lain, maka itu pastilah bukan demokrasi. Itu pasti polusi sosial.
Mencari bukti apakah Jokowi atau Prabowo yang terbaik itu sebenarnya perkara "sangat mudah". Bukankah banyak angka, data, statistik, grafik dan rupa-rupa informasi yang mudah didapatkan dan rasanya "tidak sulit" membuktikannya.
Yang paling sulit itu adalah: membuktikan "kebenaran" agama. Karena salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim agamanya masing-masing. Mereka juga tidak butuh bukti, karena demikianlah "iman" itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H