HAMPIR setiap manusia itu, menurut Abraham Maslow - seorang pelopor aliran humanistik psikologi, butuh untuk dihargai dan kebutuhan untuk meng-aktualisasi dirinya. Adanya media sosial saat ini, sedikit banyak, bisa memenuhi kebutuhan dasar manusia itu. Selain media sosial, kita juga mengenal forum-forum diskusi -yang on dan off air, bergabung di komunitas hobi, dan lain sebagainya.
Seperti orang kebanyakan, untuk memenuhi kebutuhan itu, saya juga memiliki banyak ragam cara. Saya bergabung di puluhan WhatsApp grup (WAG), membentuk forum-forum kecil pengkajian agama, aktif di komunitas professional, dan lain sebagainya. Untuk Whatsapp Group, saya bergabung di banyak sekali grup. Ada hampir 10-an WAG di satu handphone saya.
Namun, dari hampir 10-an WAG itu, ternyata, tidak semuanya bisa membuat saya betah. Bahkan saya merasa jengah.
Saya tidak menyukai WAG teman-teman sekolah lama saya. Mereka, teman-teman lama sekolah saya, seperti tidak pernah berubah: dulu begitu- hari ini juga begitu. Meski usia mereka kini sudah setengah baya, mereka masih saja suka mengolok-olok: menggunakan kekurangan sebagai bahan candaan (seperti pada saat kami masih sekolah). Saya paham, mungkin bagi sebagian dari mereka, ini adalah salah satu cara untuk membuat mereka semakin akrab. Tetapi, jujur, tidak bagi saya.
Bayangkan, mereka masih saja memanggil sebagian dari teman-temannya dengan nama lain atau alias- yang apesnya nama lain itu adalah kekurangan fisik, nama orang tua, kemiskinan, kebodohan dan lain-lain.
"Hahahaha... bukan begitu mbah Kartiyem." Mereka itu sangat kebangetan! Teman saya yang dipanggil Kartiyem hanya bisa diam. Kartiyem, yang saya tahu adalah nama orang tua salah satu teman saya. Saat kami sekolah, dahulu, teman saya memang suka meledek dengan menyebut nama orang tua. Saya menduga, pasti teman saya itu sangat malu saat nama ibunya yang terdengar "ndeso" itu disebut. Bagaimana perasaan dia, yang (mungkin) saja demikian dihargai di tempat pekerjaannya sekarang dan memiliki anak buah puluhan dan terpelajar, tiba-tiba harus dipanggil "Kartiyem".
"Dia dulu tuh kulitnya paling item sekelas. Sekarang mungkin sudah berevolusi menjadi bersih karena sudah operasi," kata teman saya yang lain.
Jengah dengan candaan yang begitu merendahkan, saya pun akhirnya memutuskan tidak lagi membaca chat. Saya biarkan chat itu masuk ke gawai berhari-hari. Sampai ribuan. Setelah itu saya hapus. Saya agaknya belum memiliki keberanian cukup untuk menulis "My apology for leaving the Whatsapp group." Ciri khas kita yang orang timur adalah santun, sehingga saya merasa tidak enak untuk keluar.
Di WAG yang lainnya, saya juga beberapa kali jengah dengan seorang teman yang memutuskan untuk "berubah". Ia kini tiba-tiba begitu menyukai dakwah. Saya sebenarnya tidak anti dakwah. Tetapi, dakwah itu, menurut saya, semestinya, bukanlah disampaikan dengan kalimat-kalimat yang mem-vonis, men-judgment salah. Dakwah itu harusnya memberikan terang. Mencerahkan. Seperti suluh di ruang yang gelap.
Teman saya itu, Hana (sebut saja demikian), tiba-tiba menjadi sangat religius. Ia dulu tidak begitu. Di WAG, ia kini rajin menulis dakwah-dakwah agama. Itu bagus sekali, saya pikir. Tetapi, ia agaknya lupa bahwa tidak semua orang menyukai dakwah yang ia sampaikan dengan berlebihan dan terus menyindir. Kadang-kadang, dalam dakwahnya itu, ia sisipkan kisah-kisah tentang surga dan neraka.
Selain Hana, saya juga kenal Listyo, teman saya yang lain. Ketika kami masih bersekolah, Listyo adalah anak yang cenderung slengekan. Ia tampak tidak suka diatur. Jarang saya melihatnya sholat. Malah, waktu kami masih sekoah, aku lebih melihatnya sebagai jagoan kelas. Badannya memang kekar dan berisi.
Namun, hari ini, ia tiba-tiba menjadi sangat saleh. Sekali lagi, itu sangat bagus, saya kira. Tetapi, sama halnya dengan Hana, Listyo juga menyampaikan dakwah secara berlebihan dan terus menyindir.
Suatu kali, saya pernah menulis chat dengan mengutip kata-kata milik Shaykh Abdallah Bin Bayyah yang begitu apik (menurut saya): "Every religion is a form of energy, on one hand it can be constructive, and at the other hand, it can be destructive. It is not the problem of the religion, but the problem of the people who're speaking on behalf of it." Usai saya klik "send", Listyo bergegas membalas chat saya. Tak kurang dari setengah menit.
Listyo, dengan bahasa inggris yang dengan susah payah saya artikan, kira-kira membalas chat saya seperti ini: "Jangan sekali-kali menyebut-nyebut agama. Hati-hati mendiskusikannya, jika kamu belum membaca buku-buku agama. Jika engkau salah membaca atau ikut apa kata orang, engkau akan menyesal kehilangan iman."
Usai Listyo menuntaskan chat-chatnya, saya pun lebih memilih diam. Saya memang bukan tipe orang yang suka dengan debat-debat panjang, yang ngalor ngidul, yang melelahkan, yang menyanggah dan menyerang. Bagi saya, seperti apa yang saya pahami selama ini, mendebatkan the faith (iman) itu seperti mendebatkan tentang kebenaran. Bahwa, apakah ada kebenaran yang mutlak di dunia ini? Listyo mungkin lupa, bahwa ada beragam kebenaran di dunia ini: ada kebenaran mutlak, kebenaran relatif, dan kebenaran virtual.
Teman-teman saya yang Islam begitu mengasihani mereka yang bukan Islam karena, katanya, mereka itu tidak diridhoi dan surga bukanlah tempat untuk mereka. Tetapi, ternyata, teman saya yang bukan islam juga memiliki anggapan yang sama terhadap agamanya.
Saya adalah tipe orang yang menyenangi forum-forum diskusi yang terbuka, yang bisa menyampaikan gagasan-gagasan jernih, yang tidak ngotot dan yang tidak ego. Forum-forum seperti itu yang meski hanya beranggotakan/dihadiri tiga atau lima orang, tetapi membuat saya merasa betah. Mereka sangat terbuka, tidak mengolok-olok, tidak pernah memanggil kita dengan menyebut-nyebut nama orang tua atau kekurangan kita, dan mau menerima ragam pendapat yang berbeda-beda.
Selain forum-forum diskusi di atas, ada lagi satu rumah yang membuat saya merasa betah (setidaknya hingga tulisan ini saya posting), yaitu: KOMPASIANA. Di rumah yang bernama kompasiana itulah, saya bisa menuliskan semua uneg-uneg, ragam pemberontakan logika saya, pikiran-pikiran saya yang kadang tampak "liar", nakal dan genit. Saya percaya, para penghuni rumah Kompasiana juga demikian. Banyak dari mereka yang bisa menyampaikan gagasan-gagasan jernih.
I'm happy at your home Kompasiana. Semoga saya tetap betah tinggal di rumah bernama Kompasiana.
Sumber gambar: kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H