Banyak orang awam sulit melogikan pikiran-pikiran Gus Dur, termasuk kalangan yang mengatakan Gus Dur itu muslim yang murtad. Saya awalnya juga sangat sulit menerima pikiran-pikirannnya. Namun, usai keramaian politik tahun 2014, lalu adanya kasus Ahok dan demo bela agama yang berjilid-jilid itu, benar-benar telah mengubah cara saya berpikir. Usai orang-orang ramai menghambur-hamburkan kalimat 'kamu bukan golonganku', 'kamu kafir' dan 'kamilah golongan yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya', saya tiba-tiba menjadi begitu terpikat dengan pikiran-pikiran Gus Dur.
Gus Dur adalah pejuang. Ia pejuang yang pluaralis. Dan Gur Dur itu milik semua orang; Islam, Buddha, Katolik, Hindu dan Tionghoa. Mereka semua mengakui ketokohannya. Adakah tokoh Islam lainnya yang demikian disayangi oleh pemeluk agama lain selain Gus Dur?
Gus Dur tak mengenal minoritas dan mayoritas. Gus Dur sangat membenci istilah-istilah itu. Saya juga tidak habis mengerti, mengapa manusia menciptakan istilah-istilah itu? Mengapa mayoritas dan minoritas hanya disematkan untuk golongan yang berbeda keyakinan? Tak pernah ada yang menyebut "saya mayoritas, tetapi saya juga minoritas, karena keberanian menjadi pengusaha saya hanya sedikit sekali".
Gus Dur itu begitu dirindu dan diikuti. Oleh para pecintanya -- yang ternyata tidak hanya Islam saja. Dan itulah yang menjadi sebab nomer satu mengapa seluruh capres dan cawapres Pilpres 2019 merasa harus sowan ke keluarga Gusdur.
Dukungan keluarga Gus Dur dan Gusdurian bisa menjadi tanda bahwa kandidat tersebut tidak berpihak hanya kepada salah satu kalangan, salah satu agama, salah satu suku dan salah satu etnis saja. Karena, memang seperti demikian Gus Dur itu sehari-hari.
Keperpihakan kepada semua kalangan, agama, suku dan etnis bukan hanya menjadi sangat penting untuk Pilpres 2019 saja, tetapi juga untuk Indonesia. Kita ingin melihat Indonesia yang kokoh, yang tak mudah dibelah oleh sekat yang bernama identitas.