Pram tampak tidak seperti biasanya sore kemarin.
"Aku seperti tidak antusias menyelesaikan tumpukan pekerjaan-pekerjaan kantorku mas," begitu pesan yang sempat aku baca di gawaiku.
"Apa kamu sudah bicara dengan istrimu?"
"Belum, mas," balasnya.
"Jadi kamu sudah memutuskan tidak jadi berangkat?"
Pram tidak segera menjawab pertanyaanku. Tetapi, aku sebenarnya tak benar-benar butuh jawabannya. Sudah kesekian puluh kali ia gamang.
Aku paham siapa Pram karena dalam banyak kesempatan, ia kerap membagikan kisahnya. Kisah tentang perang di batinnya.
Aku merekan dengan baik semua kisah-kisahnya. Ada kalanya ia merasa sangat lelah dengan pergolakan batinnya itu. Ia sebenarnya punya mimpi. Tetapi, sayangnya, mimpinya itu lebih sering dikalahkan oleh passionnya dan oleh orang-orang di sekitarnya. Salah satunya, yang saya tahu, ya termasuk istrinya itu.
Aku sebenarnya sangat merasa kasihan dengan Pram. Lelaki pendiam itu tak seharusnya "bernasib" menjadi karyawan biasa di perusahaan tempat ia bekerja sekarang. Ia lulusan dari universitas terbaik dengan nilai terbaik (satu angkatanya). Aku mengagumi masa lalunya yang membanggakan itu.
Puluhan kali aku sudah memberinya saran. Namun, ya itu tadi, hasratnya sering dikalahkan kegamangan dan orang-orang di sekitarnya.
Aku pernah bercerita kepadanya bahwa aku sebenarnya juga pernah seperti dia. Yang pernah lelah dengan pergolakan batin.