Hari ini saya terlalu pagi sampai di Gresik. Rapat baru akan dimulai pukul 11.00, tapi saya sudah sampai di kota ini sejak 09.20. Mungkin saya terlalu cepat memacu laju mobil di jalan tol tadi pagi.Â
Karena masih ada waktu banyak, saya pun memutuskan menunggu di warung kopi. Tak susah menemukan warung kopi di kota ini.Â
Kabupaten Gresik, selain terkenal karena banyak pabriknya, sejarah wali songonya, juga terkenal karena warung kopinya. Bahkan, saking banyaknya warung kopi, orang menjuluki Gresik sebagai kota sejuta warkop. Maklum, di hampir semua sudut, warung-warung kopi berjejer. Beroperasi 24 jam. Tak pernah libur.
Selain sajian utama yang tentu saja kopi itu, kita juga bisa dapatkan jajanan gorengan, camilan dan rokok eceran. Semuanya dijamin tidak bakal membuat kantong bakal bolong.
Pagi tadi, kepada tukang jual, saya pesan secangkir kopi Gresik.
Kopi Gresik adalah kopi yang sangat khas, kopi yang sangat laki dan aromanya itu tidak seperti kopi-kopi lainnya. Kopinya digiling halus. Warnanya hitam agak kecoklatan. Bagi para penggemar kopi, tentu mudah sekali membedakan rasa kopi Gresik dan membandingkan dengan kopi lainnya.
Namun, sesungguhnya, bagi saya, tidak hanya soal kopi Gresik itu saja yang membuat saya merasa sangat ingin menuliskan kisahnya, namun, dari warung yang sederhana itu, saya bisa menceritakan kisah keakraban masyarakat Gresik yang sebenarnya. Percakapan dari para penggemar setia warkop soal humanisme dan rerasan dari para "pemasok" juga sangat menarik.
Di kota ini, di warung yang tampak apa adanya itu, anda bakal bisa menjumpai hampir semua ragam manusia dengan rupa-rupa profesi: ulama, pejabat, wakil rakyat, pekerja kantoran, pengusaha, aparat, mahasiswa, pedagang, tukang becak dan buruh pabrik. Mereka menikmati kopi, duduk dan berbicara dengan tidak membeda-bedakan. Akrab dan sangat guyub.
Manusia dengan penghasilan hanya 40 ribu rupiah per hari hingga pejabat berkumpul menikmati kopi dan jajanan yang murah meriah. Di tempat yang sederhana, di kota ini, manusia bisa disatukan dalam kesederhanaan.Â
Warung kopi Gresik itu, ternyata, tidak hanya unik karena telah menyatukan semua penghuni kota, namun, seperti yang saya jumpai sendiri tadi pagi, warung kopi Gresik itu juga album yang menyimpan banyak kisah dan suara-suara tentang hidup yang terus berjuang. Seorang ibu yang menitipkan sepiring gorengan adalah contoh kearifan khas masyarakat bawah yang terus bersemangat dan sabar.Â
Kepada saya, ia mengaku, hanya mendapatkan uang dua ratus rupiah untuk sebiji gorengan yang ia titipkan. Ia memiliki dua anak yang masih sekolah. Suaminya adalah buruh pabrik. Kadang untuk sekedar mencari tambahan, begitu ia mengaku, ia harus memburuh kepada tetangganya menjadi tukang cuci pakaian.
Saya meyakini, ibu penitip gorengan itu pasti tidak sendirian. Di sudut-sudut kota dan pinggiran kota Gresik, pasti banyak kisah lain yang serupa.
Warung kopi di sudut dan pinggiran kota Gresik sesungguhnya adalah wajah sosial sebuah masyarakat. Betapa di belakang tembok-tembok beton pabrik yang kokoh, masih ada orang-orang kecil yang tak pernah merengek meskipun hidup mereka terhimpit kesulitan.Â
Di pinggiran, orang-orang kecil terus berjuang. Mereka menebar inspirasi. Akrab dan menghangatkan persaudaraan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H