Deklarasi #2019GantiPresiden di Surabaya, Minggu (26/8/18), seperti banyak diberitakan media, akhirnya dibubarkan polisi. Tidak hanya itu, massa yang menolak deklarasi juga dikabarkan mengepung Hotel Majapahit, tempat Ahmad Dhani menginap.
Dalam deklarasi yang ricuh itu, seorang polwan dikabarkan bahkan harus mengalami luka saat berusaha menolong warga di tengah-tengah massa pro deklarasi. Polwan tersebut adalah Bripda Agis. Agis mengaku dicakar seorang ibu.
Sebelum deklarasi yang ricuh di Surabaya itu, seperti diketahui, setidaknya, sudah ada dua acara yang serupa di dua lokasi lain. Yang ricuh juga.
Pertama, di Pangkalpinang. Rocky Gerung, Marwan Batubara dan Ratna Sarumpaet diberitakan sempat akan menjadi pembicara dalam satu diskusi, Sabtu (25/8/2018). Seperti disebutkan, ada tagar ganti presiden diketahui berada dalam acara diskusi itu.
Yang kedua, kejadian yang di Pekanbaru. Serupa dengan yang di Surabaya, deklarasi di Pekanbaru juga ricuh. Bahkan kabarnya, Neno Warisman, salah satu penggagas gerakan #2019GantiPresiden yang disebut-sebut sebagai gerakan rakyat itu, Sabtu malam ia diketahui masih tertahan di bandara.
Kegiatan deklarasi di tiga tempat berakhir serupa; tidak berjalan lancar, tersendat dan ricuh.
Namun, meski tidak lancar, tersendat-sendat, ricuh atau dibubarkan, namun, saya (kok) agaknya sedang berpikiran lain. Meski deklarasi berjalan tidak mulus, sejatinya, gerakan #2019GantiPresiden itu saya nilai justru bakal menangguk banyak keuntungan.
Tidak mulus tetapi untung?
Ya. Mereka bisa untung! Bahkan, setidaknya, ada dua keuntungan yang bakal mereka dapat.Â
Pertama, pemberitaan media. Kedua, didapatkannya penegasan (stempel) untuk membenarkan tudingan bahwa memang benar Pemerintah itu otoriter dan menindas demokrasi.
Dengan mengambil dan memposting foto-foto "bagus", kalau perlu foto dengan pesan sangat "heroik", seperti harus ada yang luka, berdarah, kerusakan atau malah berharap agar terjadi penahanan, mereka sadar bahwa kericuhan itu bakal ramai diberitakan.
Saya percaya, mereka sadar semua itu.
Dengan media ramai memberitakan deklarasi yang ricuh ditambah dengan ribuan foto "bagus" yang diposting, maka, persepsi bahwa pemerintah memang otoriter, sedang menjalankan dan memelihara sistem-sistem yang pernah dijalankan Orde Baru pun terbentuk dan terpelihara karena menemukan "kebenarannya".
Mari kita simak, usai deklarasi yang ricuh itu, sudah berapa kali muncul tulisan, pikiran dan "kesimpulan" yang diblasting para elitis. Apalagi di panggung linimasa yang memang menjadi panggung edarnya, ribuan komentar yang serupa berseliweran. Mereka ramai mengatakan, penolakan deklarasi adalah cara-cara pemaksaan kehendak ala Orde Baru (Orba). Suaranya sangat ramai.
Mereka bisa memainkan persepsi sambil berharap datangnya simpati politik.
Siapa tidak paham, bahwa rakyat sangat takut mendengar Orba? Orba adalah era dimana kebebasan berpendapat disunat habis-habisan. Pada era Orba, hanya ada dua pilihan: manut atau lenyap.
Kalau ada yang berani mengkritik, mengusik kebijakan, nasibnya bakalan berakhir meringis dijerujikan. Atau di kuburan.
Dengan ramainya linimasi mengomentari ditambah komentar dari para elit, kesan sangat jelas terlihat adalah: rakyat seperti tampak sedang diingatkan (atau mungkin ditakuti?) akan kembalinya gaya-gaya orde baru yang menjalankan pemerintahan dengan prakrik-praktik yang otoriter dan menindas.
Sumber foto: Detik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H