Saya tak ingat persis, kapan waktunya, dan apa nama kompetisinya. Yang saya ingat, kejadiannya sudah sangat lama - 6 tahun yang lalu, saat ada kompetisi matematika di salah satu SMP negeri di Surabaya.
Pagi itu, saat saya sedang menunggui anak saya memeras otak untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan matematika yang rumit, saya sempat terlibat dalam diskusi kecil namun menarik mengenai format bagaimana "melahirkan" anak-anak berprestasi. Di tepi lapangan basket, saya terlibat diskusi segitiga; saya, seorang ibu paruh baya dan seorang bapak.
Sepanjang hampir 2 jam, ibu paruh baya itu tampak sangat mendominasi diskusi. Ia tampak tidak suka didebat. Agar anak-anak bisa berprestasi, kata ibu itu, anak harus dibiasakan atau dipaksa hidup disiplin.
Kisah Ibu itu tentang anaknya yang sekelas dengan anak saya (tahun 2013, ketika anak saya masih kelas empat SD) dan format bagaimana "melahirkan" anak-anak berprestasi sungguh "luar biasa".Â
Aku bahkan menyimpulkan, ibu itu tampak tidak main-main dengan formatnya itu. Sehingga, seperti yang diceritakan istri saya, anaknya nyaris tidak mempunyai kesempatan bermain layaknya anak-anak sebayanya.Â
Anaknya itu penuh dengan beragam kegiatan. Dari mulai pagi hingga menjelang tidur, ia harus sekolah, ikut les ini dan itu, kemudian belajar pada malam harinya. Dan untuk hal yang demikian itu, sang Ibu rela menghabiskan beberapa juta rupiah per bulannya.
Dari cerita yang saya dengar dari Istri saya pula, memang, saya tidak bisa memungkiri, bahwa sederet prestasi anaknya pasti akan menarik decak kagum orang. Seratusan lebih piala berderet rapi memenuhi almari di rumahnya. Bahkan, beberapa kali sang anak berhasil menggondol medali di ajang kompetisi matematika tingkat Asia. Bukan Main!
Antara percaya dan tidak, saya sebenarnya tidak benar-benar setuju dengan format ala Ibu itu; memaksa anak belajar. Masalahnya adalah; salah satu rekan saya yang juga pernah menjadi wakil Indonesia di salah satu kompetisi matematika di Jepang, menjawab santai ketika saya bertanya kepadanya bagaimana ia belajar. "Saya tidak menghabiskan seluruh waktu hanya untuk belajar. Saya suka sepak bola. Kalau lagi ingin, ya tinggal main. Belajar bisa nanti"
Kisah tentang anak-anak yang berprestasi selalu menarik perhatian istri saya. Saya kira, memang benar belaka, coba bayangkan, mana ada orang tua yang tidak bangga , bahkan mungkin ia akan menangis bahagia, melihat anak-anak mereka berkalung medali. Bukan sembarang medali lho! Itu adalah medali tanda mereka adalah yang terbaik di ajang sangat bergengsi; olimpiade matematika dan fisika.
Cerita tentang anak-anak jenius memang selalu membanggakan. Ia bukan hanya sekedar cerita milik Ibu yang saya ajak berdiskusi pagi itu dan para orang-tua saja, tetapi juga milik Indonesia. Â
Kisah dan bukti tentang Indonesia yang kaya akan orang-orang pintar memang bukan isapan jempol. Sudah tak terhitung Indonesia menjadi juara kompetisi matematika, fisika dan kimia tingkat dunia. Yang terakhir, seperti yang diberitakan banyak media, adalah raihan empat perak di ajang International Biology Olympiad (IBO) di Iran.Â
Di tempat yang lain, tim olimpiade sains Indonesia juga mengukir prestasi gemilang di olimpiade internasional bidang kimia dan fisika dengan masing-masing meraih medali emas. Itu terjadi di 50th International Chemistry Olympiad, Slovakia & Czech Republic, dan di 49th International Physics Olympiad di Lisbon, Portugal.
Medali emas untuk bidang kimia diraih oleh Ong Christoper Ivan Wijaya, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Kristen YSKI, Semarang. Sedangkan untuk bidang fisika diraih oleh Johanes, siswa SMA Kristen Frateran, Surabaya.
Selain membawa medali emas, Indonesia juga berhasil meraih satu medali perak oleh Abdullah Muqoddam dan dua medali perunggu oleh Rizki Kurniawan dan Muhammad Syaiful.
Sekali lagi, tidak bisa dipungkiri, Indonesia memang adalah tempat para jenius lahir. Namun, sebenarnya, ada satu pertanyaan kecil di kepala saya dan mungkin juga di kepala banyak orang; benarkah mereka adalah aset negeri?
Usah ditanya dimana para jenuis itu akhirnya bekerja. Rata-rata, seperti saya kutip dari Cendikia Diaspora Indonesia, para jenius itu pun akhirnya terpaksa "dibajak" oleh negara maju. Mungkin benar bahwa ada beberapa para jenius yang tetap bekerja mendedikasikan ilmunya di negeri sendiri, tetapi saya kira tidak banyak.
Apa boleh buat, Indonesia harus mengakui, bahwa iklim teknologi dan penelitian di Indonesia memang belum membaik, karena alokasi dana untuk teknologi dan penelitian juga masih kalah dibandingkan dengan apa yang dilakukan negara-negara maju.Â
Data dari Bank Dunia pada tahun 2013 melaporkan bahwa alokasi dana untuk riset Indonesia hanya sebesar 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB). Coba bandingkan dengan yang dilakukan negara maju, dimana hampir 4 persen dari GDP mereka dialokasikan untuk riset.
Pun tak usah bicara soal gaji. Di Amerika Serikat, rata-rata gaji untuk peneliti pemula yang baru lulus program doktor berkisar US$ 60 ribu pertahun, atau hampir 900 juta setahun.
Bagi mereka (negara maju), riset adalah modal untuk menguasai dunia kelak, termasuk yang sedang gencar dilakukan saat ini; riset dalam bidang sirkuit. Maka, kita menjadi tak heran membaca berita jika perusahaan semikonduktor, misalnya Superconducting Quantum Circuit getol memekerjakan para jenius. Jika para pembaca belum tahu tentang superconductiong, sedikit gambaran, bahwa superconducting adalah  komponen sangat penting untuk komputer kuantum.Â
Banyak media menulis, dan saya juga sependapat, bahwa superkonduktor, semikonduktor, atau trapped ion bakal menjadi penguasa dunia kelak. Dunia akan segera berubah karena teknologi semikonduktor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H