Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kontrol Media, Sisi Lain Perang Dagang Amerika-China

23 Juli 2018   09:56 Diperbarui: 23 Juli 2018   21:17 2416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar; Sindonews

Awalnya, saya pikir, berita-berita perang (dagang) Amerika-China bakal gegap gempita dan akan ramai diberitakan koran.

Perang (dagang) Amerika-China sudah dimulai. Trump menggertak China dengan tarif masuk 25% untuk sejumlah barang yang dijual di negaranya.

Bagi saya, ini bukan lah sembarang perang. Hasil perang disebut-sebut bakal memengaruhi nasib puluhan ribu perusahaan China dengan ratusan ribu pekerjanya. Ini juga urusan soal duit USD 200 miliar. Sekedar informasi saja, agar kita bisa membayangkan betapa besarnya nilai perang itu; nilai APBN 2018 Indonesia "tidak sampai" USD 160 milyar (kurs 14.500 per 1 USD).

Alih-alih melunak, China ternyata tidak gentar. Xi Jinping membalas dan akan menerapkan kebijakan yang sama atas barang Amerika yang dijual di negeri tirai bambu. Sebentar lagi, media pasti akan ramai memberitakan perang ini.

Namun, ternyata, dugaan saya salah. Sudah seminggu lebih media di China tidak memampang berita tentang perang (dagang). Tak ada lagi judul berita provokasi. Artikel atau ulasan di pojok koran yang bisa membuat darah Trump menaik juga menghilang. Sepi.

Menarik perhatian saya; mengapa media tiba-tiba senyap?

Setelah selesai membaca-baca banyak halaman koran dan media, saya baru tahu penyebabnya. Ternyata, pemerintah China memang melarang media memuat berita tentang perang itu. Ini adalah sisi lain perang (dagang) yang menarik, yang memicu saya semakin ingin tahu tentang kontrol media di China.

Saya perbanyak membaca. Dari banyak informasi yang berlimpah di media, saya menjadi semakin tahu. Bahwa, ternyata di China, media dapat dikatakan sebagai "perangkat" milik pemerintah. Artinya, tulisan-tulisan di media disana sebagian besar adalah cermin, wakil dan representasi kebijakan dan sikap pemerintah.

Bagi China sendiri, mengontrol media adalah pekerjaan "sangat" mudah. Cukup hanya dengan instruksi. Dan ... semua akan beres. Bagi mereka, kepentingan negara adalah segala-galanya.

Sistem kontrol terhadap media seperti ini, bagi China, adalah sistem kontrol paling cocok untuk negaranya. Maka, karena sistem kontrol seperti ini pula, kita bisa melihat sendiri seperti apa China hari ini. Kita hampir tidak pernah melihat China yang riuh.

Saya meyakini, meski bukan satu-satunya sebab, tetapi dukungan media yang seperti ini pasti ikut memberikan andil yang tidak sedikit dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang gila-gilaan. Semua bisa dikebut tanpa gangguan berarti. Hampir semua negara mengagumi pertumbuhan ekonomi China yang menjadi nomer satu sedunia. Apa yang bakal terjadi jika pemerintah China tidak bisa mengontrol media?

Bisa jadi, Trump sebenarnya lebih takut kekuatan ekonomi China dibandingkan kekuatan militernya.

Di China, dalam banyak kasus dan kejadian, faktanya, media memang menjadi perangkat dan pendukung hampir semua kebijakan pemerintah.

Lalu, bagaimana dengan Amerika sendiri?

Bagi Amerika, mengontrol media itu susah susah gampang, kalah tidak mau disebut pekerjaan sulit. Penyebabnya adalah karena Amerika termasuk negara dengan kebebasan pers cukup longgar.

''AS masih dianggap sebagai negara paling bebas kehidupan persnya di dunia,'' sebut laporan Freedom House. ''Pers AS menikmati pemberitaan agresif dan saling berbeda, malah banyak di antara laporan dan tulisannya tentang berita luar negeri dan dunia, mendapat perlindungan hukum."

Bahkan, Trump, pun pernah melontarkan statement seperti ini "media adalah partai oposisi dalam banyak cara."

Sejak pemilihan presiden AS pada 2016, Trump juga diketahui sering menyerang kelompok media utama AS terutama New York Times dan CNN.

Lalu, bagaimana dengan kontrol media di Indonesia sendiri? Apakah kontrol ala China itu cocok ditanam di bumi ini? Atau kebebasan ala Amerika?

Banyak yang menyebutkan bahwa Indonesia mengenal media yang bermartabat, media yang bertanggung jawab. Media harus menjadi perangkat untuk menyuarakan informasi sacara benar dan bertanggung jawab.

Media yang bertanggung jawab! Kedengarannya sangat menarik dan ideal. Namun, kadang-kadang, kita masih kerap menjumpai kejadian sebaliknya hari ini.

Di Indonesia, media kadang masih gemar mengeksploitasi sisi seksi dari setiap peristiwa yang remeh-remeh. Kadang-kadang narasi biasa pun menjadi viral karena diberi judul dengan kalimat sangat emosional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun