Lentog adalah makanan khas Kudus berupa campuran lontong dengan sayur lodeh - campuran sayur nangka muda dengan tahu, tempe dan santan yang membuat rasa sayur menjadi gurih. Lentog disajikan dengan taburan bawang goreng dan sambal. Biasanya, kuliner ini disantap bersama sate telur puyuh dengan rasa manis sebagai pelengkap.
Saat hari raya Idul Fitri, selama beberapa hari, warung penjual lentog tampak seperti menjadi milik keluarga urban yang menjadi wakil kelompok perantau. Bersama pekerja kebersihan, pegawai kantoran dan buruh pabrik, mereka bertemu di warung murah nan meriah itu.
Pekerja, buruh dan tukang becak dengan penghasilan tak sampai 70 ribu rupiah per hari berkumpul dengan manager-manager dengan penghasilan puluhan juta sebulan untuk menuntaskan urusan perut dalam kesamaan selera dan rasa.
Maka, jangan heran, selama beberapa hari setelah lebaran, kita bisa dengan mudah menemukan pecinta kuliner lentog yang memarkir motor dan mobil-mobil dengan plat kendaraan luar daerah berderet-deret di pinggir jalan.
"Kelas berapa sekarang nyo?" tanya seorang pembeli.
"Ini mau kelas tiga," kata seorang pembeli lain yang duduk di bangku paling pojok, menjawabkan pertanyaan untuk anaknya.
Tegur sapa dan jawab singkat, antara 2 orang penikmat lentog yang "berbeda", yang di Jakarta pernah begitu ramai disebut sebagai "pribumi" dan "non pribumi" itu, kemudian berlanjut dengan saling bertanya seputar pekerjaan masing-masing. Aku begitu menikmati obrolan mereka, dan sesekali ikut memberikan komentar kecil.
Sambil sibuk meladeni pembeli, aku juga lihat ibu penjual lentog tampak tidak diam. Ia sangat grapyak dan terlibat dalam pembicaraan yang ngalor-ngidul dengan semua pelanggannya, yang ternyata banyak juga dari "non pribumi".
"Saya bekerja di Jakarta koh. Baru kemarin malam saya datang di Kudus," jawabku saat ditanya bapak berumur 50-an tahun. Melihat benda kecil di samping handphone, aku menebak bapak itu pasti hendak beribadah di gereja yang ada di belakang warung.
Saya ganti bertanya, dan tidak terasa kami jadi akrab. Kami lalu saling bertukar cerita.
Aku mendengar beberapa potong cerita tentang perjuangannya saat Bapak itu masih muda dan aku juga bercerita tentang semua uneg-unegku yang aku abadikan dalam beberapa artikel.
Di warung pinggir jalan, sambil menyantap habis kuliner seharga 6 ribu itu, aku seperti merekam semua cerita tentang Kudus. Cerita tentang kota dengan sejarah panjang kerukunan umat beragama sejak masa Sunan Kudus Sayyid Ja'far Shadiq dalam sepiring lentog.
Aku merekam sendiri suasana sangat akrab dan hangat antar penikmat lentog yang sangat berbeda-beda. Bagi saya pribadi, cerita kecil keakraban pagi itu seperti ulangan cerita ratusan tahun silam, jauh sebelum Pancasila dirumuskan, tentang unsur-unsur konstitutif masyarakat Kudus yang begitu menghargai keanekaragaman yang digaungkan sang Sunan.
Karena jasa-jasa sang Sunan itulah, maka, tidak salah jika Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Kementerian Agama pernah menyebut Sunan Kudus sebagai Bapak Kerukunan.
Sekedar mengingatkan, Sunan Kudus adalah salah satu wali dari sembilan wali atau Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di kota Kudus. Ia menyebarkan Islam dengan penuh rahmat, dengan cara-cara yang mestinya bisa menjadi inspirasi membangun dan memelihara kerukunan umat dengan rupa-rupa agama, yang pernah koyak oleh beberapa gelintir orang dan kelompok.
"Berapa semuanya bu?"
"Sebelas ribu pak," jawab Ibu penjual lentog.
Setelah membayar aku bergegas pulang. Aku tak sabar ingin segera mengabadikan cerita tadi dalam artikel dan kata-kata yang mudah aku ingat: mudik, lentog, dan harmoni dalam keragaman.
Sumber foto: dokumen pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H