Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perlukah Segala Sesuatu Dilabeli Agama?

5 Juni 2018   21:18 Diperbarui: 6 Juni 2018   13:29 2576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi; geotimes.

Sekali waktu, cobalah mengamati apa perbedaan reaksi dan tanggapan publik terhadap satu kejadian yang sama, bedanya; yang satu dibiarkan tanpa label agama, dan satunya dengan label agama.

Apakah linimasa akan riuh atau publik akan ramai memperbincangkan satu peristiwa dengan judul atau narasi datar seperti "Pria Paruh Baya Babak Belur Dianiaya Orang Tak Dikenal"? Benarkah narasi datar ini akan diperbicangkan dan menarik simpati orang? Benarkah kisahnya akan ditulis dan ditangisi banyak orang?

Sekarang, lakukan pekerjaan kedua. Ganti narasi di atas menjadi "Salah Seorang Pengurus Pondok Pesantren Babak Belur Dianiaya Orang tak Dikenal". Lalu posting narasi itu di twitter, facebook, instagram, dan lain sebagainya. Perhatikan dan lihatlah, bagaimana reaksi dan respons orang?

Mari berusaha untuk tidak mendalami apa motif sebenarnya tindakan penganiayaan itu, tetapi faktanya, saat ini, bahwa kita baru akan bersimpati, bereaksi, berteriak atau bahkan baru akan marah jika pengisahan suatu cerita atau kejadian harus diberikan label agama terlebih dahulu.

Jika kita menyimak kembali dan merangkum apa yang pernah terjadi di media sosial di Indonesia sejak sebelum Pilpres 2014 dan hingga hari ini, anggapan saya di atas semakin benar adanya. 

Sejak sebelum Pilpres 2014 dan hingga hari ini, segala hal yang diberi label agama selalu ramai diperbincangkan. Kisahnya menjadi viral, dan selalu menarik minat orang untuk menuliskannya dan mengomentari. Bahkan, dalam beberapa kasus, kisahnya itu pun begitu dramatik, sanggup membuat orang berteriak, bergerak dan berkonvoi di jalan-jalan.

Pertanyaan kecil saya; lalu bagaimana dengan kasus sama yang tidak diberi label? Masihkah kita bersimpati?

Mari sebentar kita tengok tragedi kemanusiaan di Yaman. Tanpa promosi dan label agama, kisah di sana tidak menarik. Tak ada yang turun ke jalan. Tidak ada foto-foto bertebaran. Sepi. Padahal, bukankah di sana juga ada ribuan Muslim yang tewas dan ratusan ribu lainnya mengungsi?

Ada, sebenarnya, pertanyaan kecil tetapi sekaligus mengusik saya, mengapa segala hal yang diberi label agama harus selalu diperbincangkan? Perlukah? Jika perlu, lalu sebenarnya siapa yang diuntungkan?

Secara pribadi, saya sebenarnya sangat mengagumi semangat menyuarakan pendapat, simpati sekaligus keprihatinan kita terhadap orang, anggota atau kelompok karena kesamaan agama. Tidak ada yang salah dan seharusnya memang demikian. Tetapi, sungguh, ini yang sangat mengusik saya, bahwa semangat dan simpati yang berlebihan hampir selalu dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Ada pihak lain yang untung.

Dalam beberapa hal, faktanya, kasus-kasus yang diberi label agama selalu mampu menuai jutaan simpati. Para "bandar" sangat tahu, ini adalah energi yang luar biasa. Bahkan, belajar dari beberapa kasus yang pernah ada, jutaan simpati itu bahkan mampu menggerakkan semangat jutaan orang untuk bergerak. Namun sayangnya, dari beberapa kasus yang pernah terjadi pula, kasus-kasus dengan label agama itu justru memuluskan misi dan kepentingan politik pihak tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun