Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Upaya Tak Lazim Menata Tanah Abang?

10 Mei 2018   18:11 Diperbarui: 10 Mei 2018   18:35 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin, 30 April 2018, usai rapat di salah satu gedung di bilangan Slipi, saya bergegas pulang. Jam sudah menunjukkan angka 12.10 ketika saya meninggalkan gedung. Berarti, saya hanya memiliki waktu satu setengah jam untuk menempuh perjalanan dari Slipi ke Kuningan, lalu makan siang, lalu ke Senayan City untuk rapat yang lain hari itu. 

Berada di aspal kota Jakarta, siang hari itu, terasa sangat panas. Matahari bersinar sangat terang di langit ibu kota. Saya memutuskan ke Kuningan melewati Tanah Abang. 

Saya mengira, dengan naik sepeda motor, saya bisa segera sampai di Kuningan. Paling lama 30 menit! Namun, dugaan saya ternyata salah. Laju sepeda motor saya dan hampir semua kendaraan tersendat sejak mulai dari jalan Aipda KS Tubun hingga Jalan Kebon Jati Raya. Saya harus berhimpit-himpitan dengan ratusan kendaraan besar dan kecil.

Sepanjang jalan Aipda KS Tubun, banyak sekali angkutan kota berwarna telur asin. Mereka antri untuk bisa masuk ke jalan Kebon Jati Raya. Bajaj dan Kopaja juga saling bersesak-sesakkan. Yang membuat kesal, mereka berhenti sembarangan untuk menurunkan dan menunggu penumpang. Suara klakson hampir tak sanggup membuat mereka pergi.

Seratusan meter sebelum Blok A dan B, sepeda motor saya tertahan. Semua kendaraan berhenti. Rupanya, sekitar 30 meter di depan saya, ada keributan kecil. Tampak seorang pengemudi mobil pribadi sedang bersitegang dengan bapak paruh baya. Mengeluarkan kata-kata dengan nada tinggi, bapak itu berdebat dengan sopir mobil pribadi berwarna hitam. "Bego luuuu!!" teriak bapak itu. "Kalau mau cepat, jangan lewat sini. Lewat kabel sono!". 

Ada beberapa polisi pamong praja terlihat duduk diatas separator beton. Selain polisi pamong praja, nyaris tak ada lagi petugas yang berjaga mengatur arus lalu lintas.

Di pinggiran jalan, tampak kuli angkut berjajar di dekat troli besi menunggu kontrak. Beberapa diantaranya terlihat sangat bersemangat mengangkut bungkusan-bungkusan besar berisi pakaian, menuju lokasi sesuai order. Tanpa ada rasa takut, mereka berjalan di aspal yang panas dan melawan arus. Mereka harus berbagi lahan dengan ratusan kendaraan untuk sekedar mencari celah sempit. Kadang-kadang, jika bungkusan itu tidak terlalu besar, mereka akan memanggulnya di bahu. 

Kuatir terlambat masuk kantor atau terlambat menghadiri rapat, sopir-sopir mobil pribadi berlomba-lomba membunyikan klakson. 

Saya menengok jam tangan. Jarum jam sudah mendekati angka 1.00. Saya menyalahkan diri sendiri, mengapa saya memilih melewati Tanah Abang? Saya berbegas membuka hape dan mengirimkan chat permintaan maaf. "Selamat siang Pak, maaf ya, apakah meeting bisa pindah menjadi jam 3,00 sore pa?" 

Di depan Blok A dan Blok B yang saling berhadapan, lalu lintas siang itu tampak semrawut. Di kedua ujung jalan yang tak begitu lebar, terdapat persimpangan yang tidak hanya digunakan untuk berbelok, tetapi juga putar balik. Lampu lalu lintas yang seharusnya menjadi petunjuk tidak berfungsi. Semua kendaraan dari segala arah berebut mencari sejengkal celah.

Meninggalkan fly over, menuju arah Karet, tampak puluhan pedagang buah-buahan, makanan dan minuman berjejalan di pinggir jalan. Dagangan dan lapak mereka, bahkan, memakan hampir separo badan jalan. Tidak tampak petugas dari dinas terkait yang berjaga di lokasi siang itu. Yang ada hanya laki-laki berumur 30-an yang membantu mengatur lalu lintas yang macet. 

Setelah 1 jam dua puluh menit berjuang dan bergumul dengan kemacetan, beradu tempat dengan para pejalan kaki yang menyeberang sembarangan, pendorong troli pakaian, mobil pribadi dan kopaja, hingga pedagang buah, saya akhirnya sampai juga di Kuningan. Seperti di jalan Aipda KS Tubun sebelumnya, sepanjang perjalanan saya ke Kuningan, saya melihat banyak mobil dari arah Kuningan antri masuk ke pasar Tanah Abang. Ekor kemacetannya bahkan hingga depan TPU Karet Bivak. 

Cerita panjang tentang lalu lintas Tanah Abang yang semrawut itu sebenarnya bukanlah cerita baru. Malahan, tulisan saya ini, mungkin adalah tulisan yang ke-sekian ribu kali tentang Tanah Abang. Apalagi setelah penutupan ruas jalan untuk lokasi PKL dilakukan, kemacetan di sekitar kawasan tersebut tampak semakin menjadi-jadi. Pro dan kontra mewarnai Kebijakan Gubernur DKI Anies Baswedan dan Wakilnya, Sandiaga Uno. Dari tahun ke tahun, cerita tentang Tanah Abang selalu menarik dan menjadi komoditas politik.

Di balik megahnya pasar Tanah Abang yang konon katanya menjadi pusat perekonomian dan perdagangan pakaian terbesar di Asia Tenggara, masalah kemacetan seperti tak pernah bisa tuntas ditangani. Padahal, selain macet, saya meyakini, masih ada begitu banyak masalah pelik lainnya yang juga tak mudah dituntaskan.

Di beberapa sudut di Tanah Abang, di malam hari, kita bisa melihat potret nyata kisah kelam rakyat kecil dan mimpi indah hidup di Jakarta yang terseok-seok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun