Setelah 1 jam dua puluh menit berjuang dan bergumul dengan kemacetan, beradu tempat dengan para pejalan kaki yang menyeberang sembarangan, pendorong troli pakaian, mobil pribadi dan kopaja, hingga pedagang buah, saya akhirnya sampai juga di Kuningan. Seperti di jalan Aipda KS Tubun sebelumnya, sepanjang perjalanan saya ke Kuningan, saya melihat banyak mobil dari arah Kuningan antri masuk ke pasar Tanah Abang. Ekor kemacetannya bahkan hingga depan TPU Karet Bivak.Â
Cerita panjang tentang lalu lintas Tanah Abang yang semrawut itu sebenarnya bukanlah cerita baru. Malahan, tulisan saya ini, mungkin adalah tulisan yang ke-sekian ribu kali tentang Tanah Abang. Apalagi setelah penutupan ruas jalan untuk lokasi PKL dilakukan, kemacetan di sekitar kawasan tersebut tampak semakin menjadi-jadi. Pro dan kontra mewarnai Kebijakan Gubernur DKI Anies Baswedan dan Wakilnya, Sandiaga Uno. Dari tahun ke tahun, cerita tentang Tanah Abang selalu menarik dan menjadi komoditas politik.
Di balik megahnya pasar Tanah Abang yang konon katanya menjadi pusat perekonomian dan perdagangan pakaian terbesar di Asia Tenggara, masalah kemacetan seperti tak pernah bisa tuntas ditangani. Padahal, selain macet, saya meyakini, masih ada begitu banyak masalah pelik lainnya yang juga tak mudah dituntaskan.
Di beberapa sudut di Tanah Abang, di malam hari, kita bisa melihat potret nyata kisah kelam rakyat kecil dan mimpi indah hidup di Jakarta yang terseok-seok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H