Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narkotika, Korupsi, dan Hoaks, Wajah Kelam Indonesia Hari Ini

1 Maret 2018   11:06 Diperbarui: 1 Maret 2018   11:16 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Kapal pembawa sabu 1 ton. Sumber foto: merdeka.com)

Miris! Hanya itu kesimpulan yang pas ketika akhir-akhir ini saya banyak menemukan artikel dan membaca berita koran tentang ditangkapnya pelaku-pelaku kejahatan serius oleh aparat. Deretan "prestasi" gemilang aparat penegak hukum itu seharusnya patut di-apresiasi. Namun, kalau kita telaah lebih dalam, ternyata tidak.

Penangkapan pelaku kejahatan narkotika terus terjadi akhir-akhir ini. Rupa-rupa upaya memasukkan narkotika oleh penjahat berhasil digagalkan. Yang terakhir adalah upaya memasukkan narkotika melalui kapal. Jumlahnya sangat mencengangkan, dalam satuan ton. 

Saya hampir tidak bisa membayangkan bagaimana jika berton-ton barang haram itu luput dari sergapan? Kesimpulan dan pernyataan bakal ada jutaan generasi sia-sia hampir tak bisa disangkal. Cerita kecil berkaitan dengan pengalaman penggunaan narkotika dari teman saya sudah cukup membuat saya merinding. 

Ingin sekali, suatu hari, saya bisa bertemu Komjen Pol Budi Waseso. Aku ingin menyalaminya dan mengucapkan rasa terimakasih saya yang tak terhingga atas dedikasinya menyelamatkan negeri. Akibat yang bisa ditimbulkan oleh narkotika dalam orde ton bisa lebih buruk dibandingkan jumlah korban meninggal sia-sia di jalanan selama beberapa tahun. 

Maka, saya kira, Buwas pantas mendapatkan penghargaan dan bintang dari Pemerintah.

Cerita tentang narkotika yang tak pernah habis diulas, ternyata sama juga dengan catatan kejahatan serius lainnya, yaitu korupsi. Dalam waktu kurang dari dua bulan komisi antirasuah berhasil menangkap 7 kepala daerah tersangka korupsi. Bahkan ada, dalam dua hari berurutan, dua pelaku kejahatan korupsi ditangkap KPK. Bupati Subang ditangkap pada 13 Februari dan anggota DPRD Lampung Tengah pada 14 Februari 2018.

Meski banyak pelaku korupsi berhasil ditangkap, tetapi saya meyakini, bahwa di tempat yang lain, praktek pat gulipat itu masih terus berlangsung. Dan sangat banyak. 

Aku pernah membuka-buka halaman koran dan klak-klik sana sini, dan menemukan fakta sangat mencengangkan. Di salah satu artikel, saya menemukan beberapa daerah yang berhasil menorah "prestasi" luar biasa. Disebutkan dalam artikel itu, kepala daerah yang sebelumnya, penggantinya, dan pengganti lagi sama-sama ditangkap karena korupsi.

Belum usai Pemerintah menangani perkara narkotika dan korupsi yang tak pernah habis itu, kini kita ketambahan satu lagi masalah serius lainnya. Yaitu hoaks. 

Seperti banyak diberitakan media, pelaku penebar hoaks banyak ditangkap. Warga Way Kanan, Lampung, SF (35) ditangkap Bareskrim pada Rabu (21/2). Sebelumnya, hanya berselang beberapa hari, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri juga menangkap seorang guru SMA di Banten. Oknum guru itu diduga mengunggah berita bohong tentang PKI melalui akun facebook.  Yang terakhir, jaringan hoaks MCA juga berhasil dibongkar polisi.

Ternyata, langit Indonesia kini tak hanya disesaki gelombang WiFi dan radio-radio FM, tetapi juga penuh oleh sampah hoaks. 

Awalnya, saya pikir, berita-berita penangkapan pelaku kejahatan narkotika, korupsi dan hoaks itu adalah "prestasi". Setidaknya, ini menunjukkan aparat bekerja dengan baik. Tetapi, ternyata, tidak sesederhana itu. 

Banyak pertanyaan muncul dan sulit menemukan jawaban yang pas.

Sedang sakitkah masyarakat kita? Apakah hukum tidak berdiri tegak? Bagaimana rumitnya mengelola Indonesia kelak, jika hari ini saja sudah seperti ini? Atau jangan-jangan, kita harus meniru cara-cara ekstrem nan brutal ala Duterte untuk menyudahi masalah-masalah serius itu?

Masih adakah ruang terang di depan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun