Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pers di Tengah Derasnya Arus Berita Hoaks dan Harapan Jelang 2019

12 Februari 2018   09:28 Diperbarui: 12 Februari 2018   09:33 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: www.okezone)

Saya tadinya mengira bahwa penyebaran berita palsu atau hoax terutama melalui dunia maya bakal surut setelah Pilpres 2014 usai. Tetapi, ternyata, dugaan saya salah. Hoax terus diproduksi bahkan tren penyebarannya menunjukkan peningkatan setiap ada peristiwa politik penting. Pesta demokrasi senantiasa menjadi ladang subur bagi hoax.

Mengapa hoax tetap disuka?

Pertama, ini karena hoax masih dianggap sebagai senjata paling efisien, murah tetapi hasilnya sangat efektif untuk menghancurkan lawan dan untuk mencapai tujuan tertentu sesuai pemesannya. Hoax juga sangat handal dipakai para elit untuk menghantam Pemerintah.

Selain karena hoax bisa digunakan sebagai senjata, hoax tumbuh subur di Indonesia karena masyarakat ternyata menyenanginya. Masyarakat kita masih suka melahap mentah-mentah dan me-like berita apapun tanpa pernah mau menggunakan kemampuan literasi informasi.

Sangat menyedihkan.

Produsen hoax dan para penyebar tentu saja senang buka kepalang. Dengan kemampuan dan kepintaran mereka menggunakan dan memilih kata-kata, mereka menyasar perasaan dan emosi pembaca. Berita palsu selalu mampu menggelorakan keberanian, membakar kebencian dan mengundang decak kagum. 

Meski berbagai upaya sudah dilakukan Pemerintah, seperti pembentukan badan siber dan jaringan wartawan antihoax di daerah-daerah, penggalakan kampanye dan pesan moral yang terus menerus dan berkelanjutan, tetapi nyatanya hoax terus saja diproduksi.

Beberapa kalangan menyebutkan bahwa saat ini negara hampir tak berdaya mengatasi maraknya hoax. Tidak Indonesia tidak luar negeri. Hampir semua negara menghadapi permasalahan yang sama. 

Bahkan di beberapa negara konflik, hoax disebut-sebut menjadi salah satu jawaban penting atas pertanyaan mengapa pertikaian disana tak kunjung reda. Berita hoax itu sudah menjadi isu global.

Di Indonesia hoax juga tidak bisa lekas mati karena KUHP dan UU ITE juga belum sepenuhnya mampu menyasar dan menjerat produsen dan para penyebar hoax. 

Beberapa teman dan sahabat saya kerap menanyakan mengapa saya tidak aktif dan jarang update status atau bikin twit? Salah satu alasannya adalah karena saya hampir tidak percaya semua isi berita atau postingan di media sosial. Alasan ini tampak sangat subyektif memang. 

Kepercayaaan saya terhadap hampir semua isi berita atau postingan di medsos mungkin hanya tinggal secuil saja. Bayangkan.. ribuan berita bohong diposting. Soal makanan, soal simbol negara, soal nama, soal agama, soal gambar mata uang dan soal peristiwa. Kejadian yang terjadi sekian ratus bahkan sekian ribu tahun lalu pun diotak-atik.

Saking tidak percayanya, saya sering berseloroh kepada teman-teman, bahwa satu-satunya berita yang masih dapat saya percayai adalah: iklan bergambar seseorang dengan tulisan tebal "RIP".

Di jagat yang terhubungkan oleh koneksi internet, praktis tidak ada satu pun tempat di kolong manapun yang tidak bisa ditembus hoak.

Hoax akan terus ada dan biasanya menunjukkan peningkatan menjelang datangnya hajatan penting, seperti kegiatan politik atau pesta demokrasi. Hoak pernah demikian marak disebar saat hajatan Pilpres 2014 dan Pilgub DKI tahun 2017. 

Namun, pernyataan di atas tidak lantas berarti hoax akan surut jika tidak ada hajatan politik penting. Hoax ditengarai akan terus ada di tengah-tengah kehidupan, karena masyarakat kadung menyenangi.

Maka, rasanya akan sangat pas jika saya dan banyak pihak berharap peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang baru saja diperingati kemarin menjadi momentun bagus untuk melawan hoax. Ini bisa dilakukan antara lain dengan terus menyajikan berita yang memihak fakta dan kebenaran. Objektif dan berimbang. Orang-orang menyebutnya profesionalisme pers. Ini, saya pikir, menjadi tugas dan harus diemban oleh media arus utama. Mengapa? Karena kita tak lagi bisa memercayakan tugas penting ini pada dunia medsos dan blog-blog siluman.

Dengan kata lain, pers tidak boleh takluk pada kepentingan segelintir orang.

Sebagai orang awam dan profesional yang bekerja diluar dunia pers, saya juga mempunyai harapan besar agar pers dapat terus dan meningkatkan suguhan berita-berita yang meng-edukasi dan menginspirasi, dan bukan malah sebaliknya. Saya kerap merasa sedih dan ngelus dada, ketika membuka-buka halaman dua media arus utama (media ternama yang menjadi langganan kantor saya) memasang judul berita yang saling berlawanan, padahal peristiwa, tanggal kejadian dan pelakunya adalah sama. 

Contoh misalnya, pada saat harga garam naik, satu media memasang judul "petani garam gembira sambut harga garam naik", dan media satunya menulis judul besar-besar "kelangkaan garam bukti pemerintah tak becus". Saya sebagai awam sah-sah saja melontarkan pertanyaan; "Lohhh judul kok bisa sesuai selera?"

Selamat hari pers nasional.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun