"Ini benar-benar pengalaman kuliner yang luar biasa. Tidak hanya makanannya yang lezat, tapi suasananya juga mendukung banget," ujar Pak Iskandar sambil menghabiskan suapan terakhirnya. Â
Walaupun begitu, karena besarnya porsi dan pinggan. Kamu hanya sanggup menghabiskan sekitar seperempat porsi makanan. Dan terus terang saja rasa keju dan yoghurt tetap terasa kurang cocok di lidah saya. Namun segarnya kompot  memang sangat menghibur.
Setelah kenyang dengan qurutob, kami menutup makan siang dengan teh Tajik. Teh hijau panas disajikan dengan aneka manisan tradisional seperti halwa dan kismis.
Bu Mirna, yang mencicipi halwa, mengatakan, "Manisnya ini lembut, tidak terlalu tajam. Cocok sekali sebagai penutup."
Makan siang itu bukan hanya soal makanan, tetapi juga pengalaman yang mempererat rasa kebersamaan. Makan bersama dari satu pinggan besar qurutob memang bagaikan sihir yang kian mempertebal rasa kebersamaan itu.
Kenangan tentang cabai hijau besar itu pasti akan terus kami ingat, terutama bagaimana kami semua saling menantang untuk mencobanya. Nazar, yang dengan senyum khas membawa pinggan besar berisi qurutob, juga membuat kenangan ini kian melekat di dalam sanubari masing-masing.
Makan siang itu benar-benar "asyik pokoknya." Dan jika suatu hari saya kembali ke Dushanbe, saya tahu persis apa yang akan saya cari: qurutob dengan cabai hijaunya yang fenomenal!
Dan ketika saya berjalan perlahan meninggalkan restoran, saya teringat akan ambuyat, makanan khas Brunei yang berbeda tetapi meninggalkan kesan yang mirip dengan qurutob, yaitu kebersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H