Petualangan kami di  Dushanbe hari itu benar-benar penuh warna. Setelah mampir ke Museum Nasional , tiba waktunya  untuk mengisi energi dengan mencicipi kuliner tradisional Tajikistan. Tentu saya ini sesuai dengan janji yang disampaikan Nasar pagi tadi, ketika kami memulai petualangan ini.
Dalam perjalanan menuju restoran, kami melihat banyak bendera merah putih hijau menghias tepian jalan.Â
Tidak lama, kami  tiba di sebuah restoran besar dan cukup terkenal di Dushanbe. Restoran ini menawarkan suasana tradisional Tajik yang autentik, dengan hiasan dinding bermotif khas, lampu gantung besar yang berkilauan, dan babut  indah warna merah putih hijau  yang terhampar di area lesehan.
Kebetulan Pak Iskandar, Bu Mirna, dan Sodiq, memilih duduk satu meja dengan saya. Sementara Mas Kasan, Bu dokter Lilek, Bu dokter Ida dan Maya di meja sebelah serta Mas Agus, Mbak Retha,Pak Eddy dan Pak Yudhi di meja  yang lain.
Nasar, Ibrahim dan para pengemudi duduk di lesehan tidak jauh dari deretan meja.
Kami duduk santai menikmati kebersamaan sambil bersendagurau dan bercengkerama. Setelah lebih sebelas baru bersama-sama, kami sudah sangat akrab dan rasa sungkan mulai terkikis habis.
"Restoran ini besar sekali, ya. Suasananya hangat dan sangat tradisional," ujar Bu Mirna sambil melihat-lihat ke sekeliling.
Tidak lama kemudian, pelayan datang membawa minuman warna kuning keemasan dalam pitcher besar.  Sedangkan masing masing mendapat mangkuk untuk minum.  Ini adalah kompot, minuman  tradisional yang dibuat dari rebusan buah-buahan. Saya langsung mencobanya, rasanya segar dan sangat cocok menghilangkan dahaga. Apalagi setelah sejak pagi banyak berjalan kaki menjelajah kota.  Ternyata Kompot hadir dengan  bermacam rasa dan warna. Namun yang menjadi favorit saya adalah rasa aprikot yang asam-asam manis.
"Wah, ini rasanya ringan tapi menyegarkan, cocok diminum sebelum makan dan menghilangkan dahaga," kata Pak Iskandar.
Nazar tiba-tiba menghampiri meja dokter Liliek dengan . senyum khas sambil membawa  qurutob, hidangan nasional Tajikistan menjadi bintang utama makan siang kali ini. Saya langsung saja mendekat dan membuat beberapa foto.
"Qurutob adalah hidangan yang tidak hanya lezat, tetapi juga mencerminkan kebersamaan dalam budaya kami," jelas Nazar dengan semangat.
Setelah itu, Nasar kembali datang membawa  qurutob ke meja kami.  Sebuah pinggan besar dari kayu warna cokelat bundar diletakkan di tengah meja. Aroma  yogurt asin yang khas segera memenuhi udara. Melihat porsinya yang besar, rasanya kami berempat tidak akan sanggup menuntaskan pinggan ini. Mungkin ini porsi untuk enam atau delapan orang.