Dushanbe, ibu kota Tajikistan, adalah perpaduan menarik antara sejarah, budaya, dan modernitas. Kata Dushanbe sendiri mengingatkan saya akan pelajaran bahasa Farsi hampir dua puluh tahun lalu, kata ini bermakna Hari Senin.
"Sarapan kita tidak di hotel, melainkan di restoran," demikian pesan Mas Agus pagi itu melalui whats up geyip. Â Pukul 7.30 kami sudah siap di jalan kecil di depan hotel dengan kendaraan masing-masing. Â Seperti biasa, saya masih satu mobil dengan Bu dokter Liliek dan Bu dokter Ida dan sopir yang baik hati yang juga katanya seorang dokter atau perawat, brahim.
Restoran Turki yang kami tuju jaraknya hanya sekitar sepuluh menit dari hotel, cukup luas dan ramai dan uniknya buka sejak pagi untuk melayani sarapan.
Mula-mula kita sedikit bingung akan pesan apa hingga Mas Kasan punya ide untuk memesanÂ
'Menemen', sejenis telur orak arik dengan campuran tomat, paprika dan bawang. Akhirnya semua meja sepakat memesan 'Menemen."  Tentu saja dilengkapi dengan berbagai jenis roti, salah satu nya roti pita hangat. Buah yang wajib tentu saja semangka. Untuk minumnya saya memilih teh hitam aromatik. Menu sarapan ini  menjadi pembuka pagi yang sempurna.
Namun, yang mencuri perhatian saya di resto bukan hanya makanan dan berbagai jenis kue yang kelihatan enak , tetapi sebuah papan larangan merokok di dinding restoran. Tulisan "No Smocking" menjadi sorotan kami, sebuah kesalahan ejaan yang cukup lucu. Di atasnya , ada juga tulisan dalam bahasa Rusia " " dan bahasa Tajik, "Tamokukasi man Ast"
Di sebelahnya ada informasi nomor darurat untuk pelayanan pemadam kebakaran, polisi dan ambulans.
Momen ini menambah keunikan pagi kami, mengingatkan bahwa kesalahan kecil kadang menjadi bagian dari pengalaman perjalanan yang tak terlupakan.
Menuju Friendship Square (Maydoni Duti)
Setelah sarapan, empat kendaraan kami kembali konvoi  bersama menuju Friendship Square, atau dikenal dalam bahasa Tajik sebagai Maydoni Duti. Alun-alun ini adalah pusat aktivitas kota, dengan air mancur megah, taman hijau, dan suasana yang hidup.