BPJS Kesehatan adalah salah satu program andalan Indonesia yang membantu jutaan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan. Namun, di balik manfaatnya yang besar, ada sejumlah praktik di fasilitas kesehatan yang membuat BPJS terancam "boncos" alias tekor. Beberapa tindakan tidak transparan, bahkan curang, oleh oknum rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) menjadi penyebab utamanya.
1. Obat Diresepkan vs. Obat yang Diterima
Salah satu masalah yang sering dikeluhkan pasien adalah ketidaksesuaian antara resep dokter dan obat yang diterima. Contohnya:
*Dokter meresepkan obat untuk satu bulan, tetapi pasien hanya menerima untuk satu atau dua minggu.
*Sisa obat yang sebenarnya sudah dibayarkan oleh BPJS tidak pernah sampai ke tangan pasien.
Lebih parahnya lagi, obat yang tidak diambil pasien dianggap hangus. Padahal, BPJS sudah menanggung biaya tersebut. Ke mana perginya obat yang tidak diambil? Jika obat ini kembali ke stok rumah sakit dan dijual lagi, maka ada keuntungan ganda yang tidak semestinya dinikmati pihak rumah sakit.
2. Pasien Tidak Menerima Bukti atau Tanda Terima Obat
Pasien sering tidak diberi tanda terima obat atau rincian yang jelas tentang jumlah dan jenis obat yang diberikan. Hal ini membuka celah bagi oknum untuk melaporkan jumlah obat yang lebih banyak dari yang sebenarnya diberikan kepada pasien.
Karena merasa "tidak membayar langsung", pasien sering tidak menuntut informasi lebih lanjut. Akibatnya, obat yang dilaporkan ke BPJS mungkin berbeda dari yang diterima pasien, dan ini bisa merugikan sistem secara besar-besaran.
3. Pelayanan Dibatalkan, Tagihan Tetap Jalan
Ada juga kasus di mana jadwal pelayanan di rumah sakit atau faskes dibatalkan, tetapi mereka tetap mengirimkan tagihan ke BPJS. Misalnya:
*Pasien sudah membuat perjanjian untuk tindakan medis, tetapi layanan tidak dilakukan.
*Meski demikian, rumah sakit tetap mengklaim biaya tersebut ke BPJS, yang tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan.
Praktik seperti ini jelas tidak etis dan merugikan, baik BPJS maupun pasien.