Dalam sejarah korupsi di Indonesia, nama-nama besar sering kali datang dari kalangan pejabat negara atau elit politik. Namun, baru-baru ini, Harvey Moeis dan Helena Lim---dua individu dari sektor swasta---muncul sebagai pelaku utama dalam skandal korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah. Kasus ini melibatkan pengelolaan sumber daya alam, khususnya timah, yang menunjukkan bagaimana aktor swasta mampu memainkan peran besar dalam praktik korupsi skala besar.
Ironisnya, meskipun mereka terbukti bersalah, banyak pihak justru "kagum" dengan keberanian dan kemampuan mereka memanfaatkan celah sistem untuk meraup kekayaan dalam jumlah yang sulit dinalar.Â
Yuk kita ulas  "kehebatan" Harvey Moeis dan Helena Lim dalam menjalankan praktik ini, serta pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus ini.
1. Korupsi Skala Raksasa oleh Orang Swasta
Angka Fantastis: Rp 300 Triliun
Jumlah yang diselewengkan oleh Harvey Moeis dan Helena Lim mencapai angka yang luar biasa besar---Rp 300 triliun. Ini bukan angka sembarangan. Untuk gambaran:
*Dengan Rp 300 triliun, Anda bisa membangun lebih dari 10 ibu kota negara seperti IKN di Kalimantan.
*Jumlah ini bahkan lebih besar dari APBD beberapa provinsi besar di Indonesia digabungkan.
Sebagai individu dari sektor swasta, bagaimana mereka bisa menguasai celah sebesar ini?
Modus Operasi
1.Manipulasi Dana CSR
Harvey Moeis, yang terkait dengan PT Refined Bangka Tin (RBT), menggunakan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang seharusnya untuk masyarakat, tetapi dialihkan untuk kepentingan pribadi.
2.Penguasaan Jalur Logistik dan Produksi
Mereka mengendalikan distribusi dan ekspor timah dengan memanfaatkan koneksi di perusahaan milik negara dan pejabat tertentu.
3.Kolaborasi dengan Pejabat Tak Tersentuh
Meski tak diungkap secara langsung, praktik ini hampir pasti melibatkan pejabat yang memberikan izin eksploitasi dan pengelolaan sumber daya timah. Harvey dan Helena menjadi "eksekutor" di lapangan.
2. "Kehebatan" Harvey Moeis dan Helena Lim
a. Keberanian Bermain di Area yang "Berbahaya"
Tidak banyak orang swasta yang berani bermain di sektor sumber daya alam seperti timah, yang sering kali dijaga ketat oleh pemerintah. Namun, Harvey Moeis dan Helena Lim mampu masuk ke dalam sistem yang sangat rumit ini.
b. Kemampuan Memanfaatkan Celah Sistem
Harvey dan Helena menunjukkan bahwa mereka sangat memahami kelemahan dalam regulasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Mereka menggunakan:
*Celah dalam pengawasan dana CSR.
*Kurangnya transparansi dalam pemberian izin tambang dan eksplorasi.
*Minimnya pengawasan pada aliran dana besar di sektor BUMN.
c. Koneksi yang Luar Biasa
Kasus ini tidak mungkin terjadi tanpa dukungan "orang dalam" di perusahaan negara dan kementerian terkait. Kehebatan mereka adalah membangun jaringan yang cukup kuat untuk mendapatkan akses dan melindungi diri selama bertahun-tahun.
d. Memanfaatkan Reputasi Sosial untuk Menutupi Skandal
Helena Lim, yang dikenal sebagai "Crazy Rich Pantai Indah Kapuk," sukses membangun citra glamor di media sosial, membuat banyak orang tidak menyadari praktik yang ia jalankan di balik layar.
3. Hukuman yang "Terjangkau"
Meskipun merugikan negara hingga Rp 300 triliun, hukuman yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis dan Helena Lim tergolong ringan:
*Harvey Moeis: 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar.
*Helena Lim: 5 tahun penjara dan denda Rp 800 juta.
Bandingkan dengan kasus lain:
*Seorang ibu mencuri kotak amal karena kelaparan dihukum 2 tahun penjara.
*Pencuri ayam untuk makan dihukum 1,5 tahun.
Ini menunjukkan bahwa korupsi berskala besar sering kali mendapatkan hukuman yang tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
4. Pelajaran yang Bisa Diambil
a. Sistem Pengawasan yang Harus Diperketat
Kasus ini menunjukkan betapa lemahnya sistem pengawasan di sektor sumber daya alam. Dana CSR, pemberian izin tambang, dan distribusi hasil tambang harus diawasi dengan lebih ketat oleh lembaga independen.
b. Transparansi dalam Pemberian Izin dan Pengelolaan Sumber Daya
*Proses pemberian izin tambang harus dilakukan secara terbuka, dengan melibatkan masyarakat setempat.
*Audit berkala terhadap perusahaan tambang dan BUMN terkait harus menjadi standar.
c. Penegakan Hukum yang Adil dan Tegas
Hukuman ringan bagi Harvey Moeis dan Helena Lim menunjukkan perlunya reformasi dalam penegakan hukum di Indonesia. Korupsi sebesar ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat luas, terutama di daerah penghasil sumber daya alam seperti Bangka Belitung.
5. Menjadikan Korupsi Sebagai Pelajaran, Bukan Inspirasi
Ada sisi ironis dalam kasus ini: sebagian masyarakat justru "terinspirasi" oleh keberanian Harvey Moeis dan Helena Lim. Mereka dianggap sebagai simbol bahwa siapa saja bisa menjadi "besar" di negara ini jika tahu bagaimana "bermain" dengan sistem.
Namun, penting untuk diingat bahwa korupsi sebesar ini meninggalkan dampak luar biasa buruk:
*Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang yang tidak bertanggung jawab.
*Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum.
*Kesengsaraan masyarakat setempat yang seharusnya mendapat manfaat dari sumber daya alam di wilayah mereka.
Kesimpulan: Membangun Sistem yang Lebih Baik
Harvey Moeis dan Helena Lim mungkin berhasil "mengakali" sistem, tetapi kasus mereka harus menjadi momentum untuk memperbaiki kelemahan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Kita tidak membutuhkan individu "hebat" yang bisa mengeksploitasi celah sistem, melainkan pemimpin dan regulator yang memiliki integritas untuk memastikan bahwa sumber daya negara dikelola untuk kepentingan seluruh rakyat. Korupsi harus dihadapi dengan tegas---bukan hanya sebagai pelajaran, tetapi juga peringatan bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada uang atau koneksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H