Peace Park yang letaknya hanya satu halte trem. Â Walau bisa jalan kaki, kami lebih suka naik Nagasaki Denki ini, apalagi karena sudah punya tiket yang berlaku selama satu hari. Â Naik trem di Nagasaki, sama seperti di kota lain di Jepang, kita akan masuk dari pintu samping di bagian tengah dan keluar di pintu depan di samping pengemudi. Pas turun, barulah membayar atau menunjukkan tiketnya saja. Â
Setelah mampir ke Museum Bom Atom,  tujuan selanjutnya adalah berkunjung keSetelah sampai di halte Peace Park,kami  kembali  menyebrang jalan menuju ke Peace Park. Dari kejauhan  sudah terlihat prasasti besar bertuliskan aksara Kanji Heiwa Koen yang berarti Taman Perdamaian. Â
Seperti juga Museum Bom Atom, Taman  ini juga terletak di atas bukit. Untungnya untuk menuju ke sana ada  eskalator  beberapa tingkat yang tampak anggun dan unik karena satu set eskalator  terdiri dari tiga bagian: yaitu naik, mendatar, dan kemudian naik lagi.  Di sebelahnya ada tangga yang digunakan untuk turun. Rupanya eskalator yang tersedia  hanya untuk naik saja.
Setelah  melewati  beberapa tingkat eskalator, kami sampai di ruang terbuka yang lumayan luas, mirip sebuah plaza dengan lantai ubin berhias  pola lingkaran-lingkaran  warna coklat kemerahan.  Di bagian tengahnya terdapat air mancur dengan kolam berbentuk lingkaran dan di bagian depan  terdapat papan putih bertuliskan nama airmancur ini yaitu Fountain of Peace lengkap dengan  sekilas informasi.Â
 Ternyata Air Mancur Perdamaian ini dibangun pada 1968 dan didedikasikan khusus untuk puluhan ribu korban bom atom yang  meninggal langsung pada saat itu juga. Konon mereka menderita rasa haus yang luar biasa.  Air mancur ini seakan dipersembahkan untuk menghapuskan dahaga tersebut, walau jauh setelah mereka berada di alam lain. Dari kejauhan, tinggi dan bentuk air mancur ini menyerupai sayap burung merpati yang melambangkan perdamaian.
Tepat di depan kolam, ada  sebuah prasasti dari granit hitam dengan relief  kata-kata puitis dalam Bahasa Jepang yang ditulis oleh Sachiko Yamaguchi yang kala itu berusia  sembilan tahun  ketika bom dijatuhkan di atas Nagasaki.  Dengan bantuan gadget penerjemah, demkian terjemahan puisi itu dalam Bahasa Inggris:
"I was thirsty beyond what I could resist. The surface of the water was oily, but I wanted the water so much that I drank it as it was."
Membaca puisi ini, tidak terasa, lelehan air mata ikut berderai di pipi seakan ikut merasakan penderitaan gadis cilik tadi. Â