Setelah di pagi hari mampir ke Depo KRL Depok, jalan-jalan Clickompasiana bersama Kreatoria berlanjut untuk mengunjungi kawasan Depok Lama. Â Tujuannya adalah untuk mengenal lebih mendalam mengenai sejarah kota sekaligus mengungkap kisah dan identitas sejati Komunitas yang sering disebut dengan Belanda Depok.
Dari Depo KRL, kami diantar dengan kendaraan langsung ke jantung kawasan Depok Lama yaitu Jalan Pemuda. Â Di sini kita akan mampir ke Cornelis Cafe, bangunan eks Gementee Depok, rumah Presiden Depok Terakhir dan juga Gereja Immanuel.
Di Cornelis Cafe, kami berkenalan dengan Boy Loen, salah seorang tokoh Kaum Depok dan pengurus YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein) yang akan memandu kunjungan kami ke kawasan Depok Heritage ini.
Sambil menikmati makanan kecil dan minuman ringan, kami mendengarkan cerita pak Boy yang sudah berusia sekitar 74 tahun tentang asal muasal nama Depok dan juga kaum Belanda Depok yang sekarang lebih suka disebut sebagai Kaum Depok saja.
Menurut Pak Boy, banyak versi mengenai asal usul nama Depok yang sebenarnya hanya berasal dari dugaan dan bahkan candaan, beberapa diantaranya adalah kata Depok berasal dari Padepokan dan juga akronim dari "De Eerste Protestantsche Organisatie van Kristenen" yang berarti Organisasi Kristen Protestan Pertama.
Akronim ini sebenarnya hanya guyonan yang berasal dari kaum Depok yang sudah pindah ke Negeri Belanda setelah Indonesia merdeka. Â
Yang dimaksud dengan Belanda Depok sebenarnya sama sekali tidak memiliki darah Belanda, melainkan keturunan para budak yang dipekerjakan oleh Cornelis Chastelein yang kemudian dimerdekakan ketika beliau meninggal pada 1714.
Cornelis Chastelein sendiri dianggap sebagai pahlawan bagi Kaum Depok karena walaupun beliau adalah tokoh VOC yang pernah memilih tanah partikelir sangat luas baik di kawasan Batavia maupun Depok, tetapi beliau telah bertindak melampaui era dan zamannya. Â
Para budaknya yang berasal dari berbagai kawasan di Hindia Belanda seperti Bali, Maluku, Timor, Sulawesi dan Jawa ini diperlakukan dengan baik, diberi pendidikan dan bahkan kemudian diberi warisan tanah di Depok dan kemudian memiliki marga-marga hingga saat ini.
Karena itulah Depok menjadi kawasan yang independen selama dan berbentuk Gementee yang mempunyai pemerintahan sendiri sampai kemudian Indonesia merdeka. Status Gementee baru berakhir pada 1952. Â Uniknya walau hanya berbentuk Gementee yang setingkat dengan kota pada zaman Belanda, Depok pada saat itu memiliki Presiden. Â Tentu saja jangan disamakan dengan Presiden suatu negara pada saat ini. Â
Perjalanan selanjutnya adalah kami mampir ke eks  gedung Gementee Depok yang kondisinya sekarang terbengkalai. Gedung ini lumayan luas dan di halamannya terdapat sebuah tugu yang juga dalam kondisi mengenaskan. Â
Pagar gedung ini selalu terkunci rapat dan hanya dibuka salam kunjungan tertentu. Seorang pemuda yang datang dengan baik sepeda motor membawa kunci pagar, dan kami masuk ke halaman yang luas.
Dikisahkan bahwa gedung ini terakhir digunakan sebagai rumah sakit sebagaimana masih terpampang pada nama di depan gedung. Namun sejak 2022 susah tidak dipakai lagi dan sekarang kondisinya sangat menyedihkan dengan halaman tidak terawat. Bahkan ketika kami masuk kemudian, kondisinya barang akan, kotor dan banyak langit-langit yang sudah runtuh. Â
Yang menarik di gedung ini tentunya sebuah berbentuk obelisk mirip Monas kecil. Ini adalah Tugu Cornelis Chastelein, Â sebuah monumen yang didirikan untuk menghormati Cornelis Chastelein, pendiri dan sosok penting dalam sejarah komunitas Depok.
Di depan tugu ada sebuah papan yang menjelaskan sekilas sejarah bangunan Gementee yang dibangun pada akhir abad ke 19.  Sementara tugu yang asli diresmikan  pada 28 Juni 1914 untuk memperingati 200 tahun kematian Cornelia Chastelein.
Uniknya pada dinding tugu ada prasasti yang tidak ada  tulisannya.  Ternyata hal ini mengandung banyak cerita sekaligus kontroversi.
Tugu ini sendiri sebenarnya sudah dihancurkan pada sekitar tahun 1960-an ketika di Indonesia aroma ani Belanda sedang panas-panasnya menyusul  peristiwa perebutan Irian Barat.  Pak Boy juga sekilas menceritakan tentang peristiwa Gedoran Depok pada masa awal revolusi kemerdekaan.
"Tugu ini kemudian dibangun kembali untuk memperingati 300 tahun kematian Chastelein. Â Namun pembangunan kembali monumen ini kemudian mengundang banyak kontroversi baik dengan pemerintah setempat maupun masyarakat Depok.
Hal ini tentunya karena Chastelein identik dengan VOC dan penjajah Belanda. Â Namun bagi kaum Depok tugu ini sangat penting karena merupakan bagian sejarah dan identitas mereka.
Lalu apakah sebenarnya yang tertulis apa monumen yang asli.  Di rumah eks Presiden Depok terakhir, saya kemudian melihat diri monumen dan membaca tulisan dalam Belanda, Mijn intentie is dat te Depok mettertijd een  fraiee christenbevolking groeie yang bermakna Aku berharap agar Depok lambat laun tumbuh menjadi masyarakat Kristen yang mandiri.
Tulisan pada prasasti inilah yang menurut kondisi saat ini Depok dapat menimbulkan kontroversi karena bisa menimbulkan keresahan sehingga pada awalnya pembangunan kembali monumen ini mendapat tentangan dan pada akhirnya didapat kesepakatan boleh membangun kembali monumen namun tanpa tulisan.
Akan tetapi pada saat yang bersamaan hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita belum bisa menerima kenyataan sejarah masa lalu sehingga kalau perlu sejarah masa lalu harus dilupakan atau dihilangkan.
Namun, walau dalam kondisi mengenaskan sebenarnya monumen ini tetap merupakan warisan sejarah.
Melestarikan  warisan sejarah Depok  ini cukup  penting untuk membangun identitas lokal yang kuat sekaligus memperkaya pemahaman tentang keberagaman Indonesia.
Kunjungan singkat ini  sekaligus menjadi momen berharga untuk memahami kembali arti dari sejarah yang melekat di kota Depok serta menghargai perbedaan dan keberagaman yang memperkaya identitas bangsa Indonesia.
Semoga kita semua lebih mengenal siapa sesungguhnya Belanda Depok yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia yang beragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H