Selepas menikmati segarnya Mors, minuman tradisional khas Asia Tengah dan negeri eks Soviet di dekat pintu masuk stasiun metro Bodomzor, tiba waktunya untuk kembali ke hotel dan beristirahat. Maklum sejak perjalanan panjang dari Jakarta ke Tashkent via Istanbul, saya belum sempat beristirahat dengan baik.
Saya segera naik metro Yunusobod Line menuju  stasiun Yunus Rajaby yang namanya diambil dari seorang komponis paling terkenal dari Uzbekistan.  Stasiun ini sebenarnya menjadi satu dengan stasiun Amir Timur karena cukup transfer dengan berjalan kaki saja. Penamaan stasiun metro di Tashkent memang mirip dengan si Moskwa, yaitu stasiun transfer di dua jalur memiliki  dua nama yang berbeda seperti juga stasiun Pakhtakhor dan Alisher Navoy.
Sampai di depan hotel Isbekistan, saya kembali menghuni tampilan arsitekturnya yang khas gaya zaman Soviet. Jadi ingat akan hotel Indonesia di Jakarta dan juga Hotel Kazakhstan di Almaty. Â
Sesampainya di kamar, saya segera mandi, membersihkan tubuh dan kemudian beristirahat setelah salat dhuhur dan Azhar. Â Tujuannya akan bangun sekitar magrib untuk makan malam.
Ketiga saya terbangun, waktu sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam dan mengari sudah menghilang dari langit kota Tashkent. Â Rasanya sudah terlalu larut untuk keluar untuk mencari makan malam, sementara perut mulai berontak untuk diisi.
Untungnya saya ingat bahwa di hotel ini ada restoran di lantai 17 yang pernah saya kunjungi ketika sempat menginap tahun lalu. Â Kalau dulu hanya sekedar mengintip kali ini dengan tujuan malan malam. Â
Dari kamar di lantai 14, saya baik lift ke lantai 16 dan kemudian naik tangga menuju lantai 17, lantai paling atas su hotel ini dimana terdapat restoran dan juga fitness Centre.
Memasuki restoran, ruangan yang agak temaram menyambut dan terlihat deretan meja kursi yang kebanyakan kosong. Hanya asa satu meja terisi dua orang tamu yang sedang duduk menikmati makan malam.
Ruangan ini memiliki dinding dan tiang-tiang warna hijau muda yang cerah dengan langit langit warna putih. Kursinya pun berwarna putih dengan meja yang ditutup taplak warna putih. Singkatnya warna hijau putih sangat dominan di ruangan ini.
Alunan musik tradisional Uzbek sedang mengalun mengiringi  suara penyanyi lelaki di pojok ruangan.  Laginya cukup enak didengar walau saya tidak mengerti maknanya.
Saya duduk di salah satu meja di dekat jendela kaca dan pemandangan kota Tashkent di waktu malam langsung terbentang. Â Amir Temur Xiyoboni yang lebar dan Amir TinurbSquare tampak sabgat indah dengan lampu -lampu germerlapan.
Tidak lama seorang seorang pramusaji mendekati sambil membawa dua menu. Â Lelaki yang sudah berusia sekitar 55 tahun ini tanpa melayani dengan dingin. Mirip gaya Rusia, agak berbeda dengan kebanyakan orang Uzbek yang ramah. Mungkin sudah agak lelah karena hari sudah malam atau memang merupakan pramusaji dari era Soviet?
Dua buku menu dengan cover warna coklat tua, yang satu International cuisine dan yang lain nasional
 cuisine.
Pada menu nasional berderet kuliner Uzbek yang sudah saya kenal seperti Plov, samsa, lagman, manti dan sashlik. Karena  siang tadi saya sudah makan Plov dan samsa di sebuah resto di dekat stasiun Bodomzor, akhirnya  saya memesan makanan tradisional Uzbek yaitu Kazan  Kabob  yang penampilannya mirip  steak  daging. Untuk minum saya hanya memesan air mineral saja walau banyak pilihan anggur, teh atau kopi.
Menunggu sekitar setengah jam sambil mendengarkan lagu lagu yang cukup mengasyikkan.  Ketika pesanan saya muncul, terbayar porsinya tidak terlalu besar, hanya dua potong daging lengkap dengan tulang, dua potong kentang, dua iris tomat dan sedikit sayuran.  Namun rasanya tetap lezat dan nikmat, dagingnya  empuk dengan bumbu khas Uzbek yang sangat menggoda selera, apalagi bila perut sudah keroncongan.
Kazan Kabob  dengan daging yang memiliki tekstur yang lembut dan juicy.  Bumbu khas Uzbek dengan ramuan rempah yang kaya terdiri dari jintan, ketumbar dan bawang menghasilkan rasa gurih sedikit perasa dengan aroma wangi yang khas.
Dalam waktu singkat makanan yang disajikan di atas pinggan bundar warna biru muda sudah ludes, segera saya memanggil pramusaji untuk membayar harganya. Tidak terlalu mahal untuk ukuran makan malam di hotel. Â Hanya sekitar 100 ribu Sum saja. Â
Sekitar pukul 11.30 malam saya meninggalkan restoran. Penyanyi sudah berhenti sekitar setengah jam lalu dan semua tamu sudah tidak ada. Mungkin restoran pun sudah akan tutup sebentar lagi.
Makan malam yang lezat sekaligus menikmati pemandangan kota Tashkent dari ketinggian di lantai 17 Hotel  Uzbekistan memberikan pengalaman yang  tidak terlupakan.
Malam itu saya tidur dengan nyenyak sambil menandingi petualang mengasyikkan keesokan harinya di Tashkent.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H