Setelah menitipkan koper dan bagasi di hotel Uzbekistan, saya punya satu harian untuk menjelajah kota Tashkent sendirian saja. Â Matahari sudah mulai menunjukkan sinarnya walau waktu baru menunjukkan sekitar pukul 6 pagi. Â Oh ya di bulan Juni, matahari memang terbit sangat pagi, bahkan ketika pesawat saya mendarat dari Istanbul, pagi sudah merekah.
Tujuan pertama adalah mencari sarapan dan untuk itu saya akan pergi ke Chorsu Bazaar yang terkenal. Selain menikmati suasana pasar tradisional, bisa juga sekaligus mencicipi roti khas Uzbek, dan meneguk minuman lokal yang menggoda.
Tentu saja cara paling ekonomis dan efisien ke pasar  ini adalah dengan menggunakan Metro Tashkent, kebetulan saya masih menyimpan kartu Atto yang dibeli tahun lalu.
Saya  berjalan santai menuju stasiun metro Amir Timur, yang berjarak hanya beberapa menit dari hotel. Cukup keluar halaman hotel dan belok ke kanan menurut tangga menuju pintu di bawah tanah.
Metro Tashkent, yang terkenal dengan stasiun-stasiunnya yang dirancang indah, adalah salah satu sistem transportasi bawah tanah tertua di Asia Tengah. Stasiun Amir Timur dihiasi dengan marmer putih dan lampu gantung yang indah, mencerminkan kemegahan arsitektur Soviet.
Saya segera mengisi ulang kartu Atto cukup dengan 5 ribu Sum saja. Harga tiket sekali jalan sekarang sudah naik menjadi 1700 Sum, sementara tahun lalu masih 1300 Sum. Tujuan saya , ,Stasiun Chorsu, yang terletak di Jalur Biru, sehingga dari Amir Tinur saya harus pindah kereta di stasiun Pakhtakor/Alisher Navoi yang sangat indah.
Karena hari masih pagi, suasan di dalam kereta lumayan ramai karena bersamaan dengan orang-orang yang akan berangkat ke kantor. Namun saya selalu mendapatkan tempat duduk ketika naik metro di Tashkent. Â Anak anak muda di sini selalu memberikan tempat duduk buat saya.
Stasiun Chorsu, tujuan saya, hanya berjarak sekitar 15 menit perjalanan dari Amir Timur. Begitu keluar dari stasiun, saya langsung disambut oleh pemandangan megah dari kubah biru besar Chorsu Bazaar yang terkenal.
Namun di sekitarnya juga banyak lapak-lapak yang hanya beratapkan tenda dan barang dagangan di letaknya saja di tanah berlapiskan plastik tebal atau terpal.
Berbagai jenis dagangan seperti buah-buahan  dan sayuran ada di sini.
Pasar ini adalah salah satu pusat perdagangan tertua di Asia Tengah, menjadi bagian dari jaringan perdagangan Jalur Sutra yang legendaris.
Kunjungan saya pertama kali adalah tahun lalu bersama dengan pemandu wisata lokal, kala itu kami berkeliling pasar dan mencicipi berbagai jenis makanan. Â Kali ini saya pergi sendiri, menikmati suasana bagaikan penduduk lokal, tanpa terikat waktu dan sesuka hati.
Dari pelataran pasar, saya memasuki bangun utama berkubah biru. Walau masih pagi, nuansa Chorsu Bazaar sebagai pasar tradisional yang hidup dan penuh warna. tetap terasa. Saat memasuki area pasar, saya langsung tenggelam dalam keramaian para pedagang dan pembeli. Aroma rempah-rempah segar, buah-buahan kering, dan roti yang baru dipanggang memenuhi udara. Suasana di sini terasa hangat dan ramah, khas dari kehidupan masyarakat Uzbekistan.
Dengan santai, Saya berjalan di antara kios-kios yang menjual berbagai produk, mulai dari rempah-rempah hingga kerajinan tangan lokal. Namun, tujuan utama saya adalah mencicipi roti khas Uzbek, yang terkenal tidak hanya di Uzbekistan tetapi juga di seluruh Asia Tengah. Ada berbagai jenis roti yang dijual di kios-kios roti, masing-masing dipanggang segar di dalam oven tanah liat tradisional yang disebut tandoor.
Di luar bangunan utama, saya mampir ke salah satu warung lokal. Di depannya dipajang berbagai jenis roti dan makanan khas Uzbek, penjaganya seorang perempuan berusia sekitar 50 tahunan. Â Di kursi panjang yang suasananya mirip warung tegal di tanah air , ada dua atau tiga orang yang sedang menikmati makan pagi.
Saya kemudian memesan roti dan teh hijau. Di sini saya mengenal nama-nama berbagai jenis roti Uzbek.
Yang pertama disebut Uzbek Lepyoshka. Roti ini adalah roti paling umum yang ditemukan di Uzbekistan. Bentuknya bulat dan pipih, dengan bagian tengah yang lebih tipis dan pinggirannya yang tebal. Lepyoshka dipanggang dalam tandoor, memberikan tekstur luar yang renyah namun tetap lembut di dalam. Roti ini biasanya dinikmati bersama teh atau sebagai pendamping makanan utama seperti sup dan daging panggang.
Saat saya menggigit roti yang baru dipanggang, rasanya begitu sederhana namun nikmat, dengan aroma gandum yang khas.
Setelah mencicipi Lepyoshka, saya mencoba roti yang disebut Patyr. Berbeda dengan Lepyoshka, Patyr memiliki tekstur yang lebih padat dan kaya rasa. Roti ini dibuat dari adonan yang dicampur dengan lemak domba atau sapi, memberikan cita rasa yang gurih dan sedikit berminyak. Patyr sering dimakan sebagai camilan atau disajikan dalam potongan-potongan kecil bersama teh. Ketika saya mencobanya, rasa gurih dan tekstur lembutnya langsung memenuhi mulut saya, memberikan pengalaman kuliner yang memuaskan.
Teh hijau yang menemani saya kali ini adalah minuman yang sangat umum di Uzbekistan, dinikmati oleh masyarakat sepanjang hari, baik di pagi maupun sore hari. Disajikan dalam piala kecil, teh hijau ini memberikan kehangatan yang lembut. Walau  terasa sedikit pahit, teh ini sangat cocok untuk melengkapi rasa roti yang gurih.
Selain teh hijau, di warung ini juga ada beberapa minuman khas Uzbekistan yang populer di kalangan penduduk lokal. Pertama adalah Ayran, minuman tradisional yang terbuat dari yoghurt yang dicampur dengan air dingin dan sedikit garam. Ayran sangat menyegarkan, terutama saat diminum setelah makanan berat atau di hari yang panas. Rasanya sedikit asam dan asin, memberikan sensasi yang unik dan menyegarkan. Saya sendiri sudah pernah menikmati Ayran ketika berkunjung ke Turki.
Ada juga Shirchoy, teh susu yang dicampur dengan sedikit garam. Minuman ini sering disajikan di pagi hari, memberikan energi untuk memulai aktivitas. Shirchoy memiliki rasa yang lembut dan creamy, sangat cocok diminum bersama roti seperti Patyr.
Setelah menikmati sarapan roti dan teh di warung lokal, saya melanjutkan penjelajahan di Chorsu Bazaar. Pasar ini tidak hanya menawarkan makanan dan minuman, tetapi juga beragam barang dagangan lainnya, seperti pakaian tradisional, karpet buatan tangan, dan perhiasan perak. Suasana di sini sangat hidup, dengan para pedagang yang terus menerus berbicara dengan pelanggan, tawar-menawar harga, dan saling bercanda. Saya ingat tahun lalu pernah membeli kismis di tempat ini. Tapi kali ini saya memutuskan tidak belanja apa-apa dulu karena sebelum kembali ke tanah air nanti saya masih akan berkunjung ke Tashkent lagi.
Tidak salah lagi, Chorsu Bazaar adalah tempat yang sempurna untuk merasakan kehidupan sehari-hari warga Tashkent dan menikmati berbagai produk lokal yang otentik.
Setelah satu setengah  jam sarapan dan  berkeliling, saya memutuskan untuk melanjutkan kembara saya di Tashkent. Tujuan selanjutnya stasiun metro Kosmonatlar tempat saya akan menikmati taman dengan patung dan monumen yang ikonik dan khas Soviet.
Untuk itu saya harus kembali ke stasiun metro dan berkelana di bawah tanah kota Tashkent.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H