Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Di Myanmar Juga Ada Panjat Pinang dan Adu Bantal

30 September 2024   15:55 Diperbarui: 30 September 2024   16:12 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jakarta World Cinema 2024 adalah ajang perfilman internasional yang diadakan untuk ketiga kalinya di Jakarta.


Pada kesempatan ini ditayangkan 120 film dari 61 negara termasuk tuan rumah, Indonesia.  

Selain diputar di bioskop CGV di Grand Indonesia , banyak juga yang dapat disaksikan secara daring melalui Klik Film.

festival ini menjadi  wadah bagi sineas lokal dan internasional untuk memamerkan karya-karya terbaik mereka, sekaligus memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati beragam film baik film panjang, film pendek, dokumenter, dan animasi.

Film-film yang diputar di festival ini dipilih secara cermat oleh kurator berpengalaman untuk memastikan keberagaman dan kualitas tinggi. Program ini mencakup berbagai tema, mulai dari isu-isu sosial yang relevan, drama kehidupan, hingga komedi yang menghibur.

Dari sekian banyak film yang diputar saya hanya sempat menyaksikan 11 film secara langsung di CGV Grand Indonesia dan 14 film secara online.

Dari 14 film yang disaksikan secara online beberapa ada film Indonesia buatan lama yang di remaster sehingga tetap enak ditonton.  

Film Soerabaja 45 karya Tantowi Yahya yang mengisahkan perjuangan rakyat Surabaya dikemas dengan sangat menarik. Dialog dalam film ini selain bahasa Indonesia, juga banyak dalam bahasa Jawa, Inggris, Jepang dan bahkan bahasa Hindi.. Walau tanpa teks, saya tetap dapat menikmatinya.

Selain itu ada film City of the Wind yang berasal dari Mongolia dan mengisahkan seorang pemuda yang masih murid sekolah menengah namun berprofesi sebagai dukun yang bisa mendatangkan roh nenek moyang.   Juga ada film dari Meksiko El Echo yang menceritakan kisah nyata lara remaja di pedesaan yang merawat  nenek mereka.

Film dokumenter tentang perjalanan Paus Fransiskus juga hadir secara daring dan memberikan banyak wawasan baru buat penonton.  

Walau gratis, sebenarnya menonton film secara daring tetap kurang mantap karena sering banyak gangguan untuk melakukan pekerjaan lain. Karena itu saya tetap lebih fokus menonton film secara langsung di layar lebar.

Dari sebelas film yang saya saksikan secara maraton selama 5 hari hampir semuanya merupakan film-film yang bagus dan bermutu serta telah memenangkan penghargaan di berbagai festival film bergengsi.

pertama adalah film All We Imagine is Light yang mengisahkan dua orang perawat yang berasal dari Kerala dan bekerja di Mumbai dengan segala suka dukanya.

Lalu ada juga film Iran yang sangat menarik berjudul The Spaces Seeds of the Fig Three yang mengisahkan seorang ayah yang baru saja diangkat mengakui penyidik namun kemudian harus kehilangan pistol dinasnya di rumah.

Film aksi dengan kisah klasik yang juga tidak kalah menghibur adalah The Count of Monte Cristo yang sangat cantik walau memiliki durasi hampir 3 jam.

Emilia Perez: dokpri
Emilia Perez: dokpri


Namun dari semua film yang saya saksikan makan Emilia Perez sebuah film berbahasa Spanyol dari Meksiko adalah yang paling saya suka. Kisahnya tentang seorang advokat yang membantu seorang gembong penjahat yang sudah memiliki anak dan istri namun berbuat melupakan jati dirinya dan berubah jenis kelamin menjadi wanit cantik bernama Emilia Perez. Film drama musikal ini tambah seru ketika Emilia kembali ke keluarga dengan mengaku sebagai sepupu dirinya sendiri dan dia cemburu ketika mantan istrinya berbuat menikah dengan selingkuhannya. Uniknya Emilia sebagai perempuan pun terlibat cinta sejenis dengan perempuan yang dibantunya untuk menemukan suaminya yang hilang.  Buat saya nilai 9,99 sari 10 saya berikan untuk film ini. Apalagi lagu lagunya juga sangat menghibur.

Masih ada lagi film Sing Sing yang berkisah tentang sosok yang dipenjara walau tidak melakukan kesalahan dan di dalam penjara bisa bermain teater.

Surprise Movie yang digelar hampir tengah malam juga menyajikan film yang tidak kalah menarik. Film India berjudul Midnight Sister ini berkisah tentang perempuan yang mengalami depresi dan baru saja dinikahkan dengan lelaki yang tidak dikenal.  

Sebelum bercerita tentang Dul penutupan yang berjudul Bird, ada satu film yang menarik walau ada yang bilang membosankan. Film ini berjudul Grand Tour dan
berkisah tentang Edward yang merupakan wakil diplomatik kerajaan Inggris di Mandalay, Burma  pada awal abad kedua puluh. Dia dan Moli sudah berpacaran selama tujuh tahun lebih dan berencana akan segera menikah. Karena itu Moli jauh jauh datang dari London menuju Ranggon  untuk menjumpai Edward.

Namun Edward ragu ragu untuk menikah sehingga ketika Molly  datang ke Ranggoon  Edward malah  kabur ke Singapura dengan naik kapal. Di Singapura, di Raffles hotel yang legendaris itu, Edward bertemu dengan kawan lamanya dan mereka bercakap cakap dengan akrabnya kawan lamanya  ini kebetulan adalah sepupu Molly.  Pada saat itu Edward mendapatkan telegram dari Molly  dengan kode M dan hal ini membuat temannya curiga bahwa Edward adalah seorang spion atau mata mata. Edward akhirnya segera meninggalkan Singapura menuju Bangkok dengan naik kereta api.
Malang tetapi mendapat kecelakaan di perjalanan di Malaya dan Edward akhirnya menempuh perjalan darat menuju Bangkok.  Tur di Asia terus berlangsung dari Bangkok menuju Saigon, Manila dan kemudian Osaka.

Perjalanan berlanjut ke Shanghai dan kemudian Chengdu.  Uniknya Molly terus  mengikuti Edward.

Dalam film ini kita juga disuguhi pertunjukan budaya lokal yang menarik seperti wayang di Thailand dan juga Burma.  Yang paling unik adalah perlombaan Panjat Pinang dan juga adu bantal di atas kali yang persis sering kita lihat di tanah air sewaktu perayaan hari kemerdekaan.

Jadi siapa bilang Panjat Pinang hanya ada di tanah Air?

Lalau ada apa dengan film Bird yang merupakan film penutup Jakarta World CINEMA 2014 ini?

 Bird : dokpri
 Bird : dokpri


Secara cerita film ini pun tidak kalah menariknya menceritakan remaja yang sedang dalam masa puber dan segala permasalahannya. Yang menjadi masalah adalah film ini memiliki dialog dalam bahasa Inggris dengan logat beitish yang kental dan sama sekali tidak ada teks yang muncul di layar. Tentu saja sebagian besar penonton akan tidak dapat menikmati film ini dengan baik.

Demikian sekilas kesan dan pengalaman selama Jakarta World CINEMA 2024 dan menyaksikan puluhan film dalam waktu hanya 8 hari. Sebagai hiburan penonton dapat menukarkan point dan ditukar dengan hadiah. Saya sendiri mendapatkan sebuah T shirt warna pink.

 Hadiah : dokpri
 Hadiah : dokpri


Jakarta World Cinema 2024 tidak hanya sekadar festival film, tetapi juga menjadi ajang bertemunya budaya, ide, dan inspirasi, serta memperkaya industri perfilman di Indonesia dengan membawa perspektif global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun