Sekitar dua jam lebih meninggalkan Osh, kami sampai di Gulcha, sebuah kota kecil di jalur M41 dimana kami sempat mampir ke sebuah mini market dan memborong persediaan makanan untuk selama beberapa hari di pegunungan Pamir nanti, Â Di Gulcha ini juga ada sebuah monumen yang cukup cantik, yaitu seorang lelaki berkuda dan dikawal oleh sepasang harimau salju. Â Dalam perjalanan dari Osh ke Gulcha, kami sempat melewati beberapa desa Bernama Asancheck, Mady, Kararay, dan Taldyk. Â Masih ada beberapa desa atau kota kecil yang kami lewati, namun tidak sempat saya catat namanya.Â
Setelah melewati Gulcha, perjalanan terus mendaki dan berliku, beberapa kali kami juga melewati penggembala ternak bai dengan domba atau bahkan kuda. Sewaktu melewati rombongan kuda, bahkan ada beberapa yang sama sekali tidak mau memberi jalan kendaraan walau sudah diklakson cukup keras. Â Walaupun perjalanan terhambat, kami tetap senang sesekali turun dari kendaraan dan berfoto atau membuat video.
Pemandangan juga mulai berubah, padang rumput yang luas sesekali diisi oleh tanaman dan bunga-bunga yang cantik. Gunung-gung dengan langit biru dan awan putih yang jernih. Di sini atap dunia dan langit terasa lebih dekat dibandingkan yang biasa kami lihat.Â
Di jalan yang berliku ini pula, kita bisa melihat di bahwa jalan yang melingkar-lingkar naik dengan kendaraan besar kecil yang bergerak lambat. Â Suhu udara kian sejuk dengan semakin tingginya kami naik. Mungkin sudah melebihi 2500 meter di atas permukaan laut.Â
Ada beberapa desa kecil yang kami lewati seperti Lyzyl Korgon, Askaly danUch Tyube sampai akhirnya sekitar menjelang pukul 2 siang, kami tiba di desa Sary-Tash untuk beristirahat dan makan siang. Â Sebuah patung kambing gunung bertanduk dua menyambut kedatangan kami di desa ini.
Ashkhana atau rumah makan, demikian tertulis dalam aksara Kiril pada papan nama warung makan yang ada di Sary Tash ini. Â Suasana siang itu cukup ramai walau warung ini tidak terlalu besar. Â Seorang gadis melayani tamu dengan ramah dan selain rombongan kami ada beberapa kelompok wisatawan yang juga sedang makan siang di sini. Menunya cukup sederhana, yaitu sup, dan roti nan. Makanan yang sudah beberapa hari selalu hadir di meja dalam perjalanan di Asia Tengah ini.
Di warung ini juga bahkan tersedia wifi sehingga kami sempat berhubungan dengan dunia luar walau sinyalnya sendiri sering terputus. Maklum Sary Tash sendiri merupakan desa terakhir sebelum kami menuju ke pos perbatasan Kyrgyztan di Bordobo, sekitar 26 kilometer dari sini.