Karukul dengan tujuan Murghab dan kemudian Alichoi, tempat kami akan menginap selanjutnya, yaitu guest house atau mehmanxona milik ibu Nazar.
Hari masih pagi sekitar pukul 9 ketika konvoi kendaraan meninggalkan desa di tepi danauPada awalnya cuaca cukup cerah namun kemudian langit berubah sedikit mendung dan hujan rintik disertai butiran salju mulai turun.
Suasana Pamir highway pagi itu sangat sepi. Hanya ada empat mobil kami tanpa satu pun kendaraan lain baik yang searah maupun dari arah berlawanan.
Ibrahim, pengemudi yang berasal dari Tajikistan namun etnis Kyrgyz menjelaskan bahwa di sebelah kiri kita adalah negeri Kitai atau Tiongkok. Tampak pagar perbatasan dari kawat memanjang di sepanjang jalan, hanya ada pasir dan kerikil dan bebatuan dengan warna kecoklatan dan bukit atau gunung. Menurut Ibrahim kawasan di sekitar perbatasan dengan Tiongkok ini tidak ada penduduk nya, baik di sisi Tajikistan maupun Tiongkok.
Sementara di sisi kanan selain hamparan padang yang luas, pegunungan Pamir Alay dengan puncak berselimut salju abadi menemani perjalankan. Kondisi jalan pun bervariasi dari aspal, tanah hingga pasir, ada yang sedikit mulus sehingga mobil bisa dipacu kencang, namun sebagian besar dalam kondisi berlubang kecil atau besar sehingga sopir harus zig-zag dan berakrobat dengan serunya.
Saya bercakap-cakap dengan Ibrahim dalam bahasa Inggris dan Rusia. Dia berusia 43 tahun memiliki 3 anak lelaki. Uniknya pengemudi ini juga senang mempelajari beberapa kata dalam bahasa Indonesia seperti terima kasih dan jelek untuk menyatakan kondisi jalan yang buruk di kawasan pegunungan Pamir ini.
Cuaca mendung dengan sesekali cerah menemani. Hingga akhirnya rombongan tiba di Hushang Pass dengan ketinggian 4655 meter di atas permukaan laut.
Kami sempat berpose di papan nama yang baru dua bulan berubah nama dari Ak Batai. Nama Hushang Pass ini ditulis dengan bahasa Tajik, Rusia dan Inggris lengkap dengan keterangan ketinggiannya.
Sejenak saya arahkan pandangan ke jalan raya dari kerikil dan juga kondisi alam sekitar yang didominasi warna kecoklatan. Bukit dan pegunungan dengan langit warna biru yang dihiasi awan putih kehitaman.Â
Panas mentari terik menyengat karena terasa sangat dekat namun semburan angin dingin menerpa wajah dan rambut. Walau di siang hari suhu bisa mendekati sekitar 0 derajat Celcius.
Perjalanan dilanjutkan melewati jalan berpasir berliku yang terus mendaki sehingga ketinggian mendekati hampir 5000 meter. Di sini kendaraan berhenti dan kami turun serta mendaki bukit-bukit berbatu kerikil untuk menikmati pemandangan lembah dan gunung-gunung bersalju di kejauhan.Â
Jalan yang meliuk-liuk naik turun serta hujan salju rintik -rintik membuat kami mau tidak mau harus merasa betapa tidak berdaya nya manusia menghadapi alam ciptaan sang Khalik.
Inilah Atap Dunia di Asia Tengah Pengunungan Pamir yang indah memukau.
Ketika hari menjelang siang. Baru ada beberapa kendaraan dari arah yang berlawanan, baik roda empat, bahkan sepeda motor roda dua. Ada juga pengembara yang melintasi Pamir Highway alias Jalan Raya M41 ini dengan bersepeda.
Jalan raya yang dibuat di zaman Soviet ini merupakan jalan raya tertinggi nomor dua di dunia setelah jalan raya Karakorum yang menghubungkan Tiongkok dan Pakistan.
Ketika sampai sekitar 40 kilometer sebelum Murghab ada sebuah mobil kuno zaman Soviet yang mogok karena kehabisan bahan bakar. Salah satu penumpangnya ikut rombongan ke Murghab untuk membeli bahan bakar.
Sekitar pukul 1 siang, rombongan tiba di Murghab, sebuah kota kecil di Pamir untuk mampir makan siang yang sederhana berupa salad, sup kol, nasi plov dan teh hangat. Di depan restoran dan hotel ini terdapat sebuah yurt khas asia tengah.
Selesai makan siang, Mas Agus menganjurkan untuk sekadar melihat-lihat kota kecil ini. Tujuan pertama adalah ke bazaar yang sangat unik karena toko-tokonya merupakan kumpulan peti kemas.
Di sini dijual kebutuhan sehari-hari penduduk Murghab dan para pelancong atau pengembara yang kebetulan melintasi tempat ini dalam perjalanan di Pamir Highway. Saya sempat mampir dan membeli kaos kaki seharga 15 Somoni. Ternyata hampir semua barang di sini merupakan made in China.
Di toko lain, kami juga membeli konfierta atau gula-gula dan cokelat. Juga ada toko atau warung yang menjual kentang, bawang bombai dan berbagai jenis produk lokal lainnya. Penjualnya seorang kakek yang mengenakan topi khas etnik Kyrgyz seperti yang kami beli di Osh beberapa hari lalu.
Sementara sopir membeli bahan bakar, ternyata perjalanan harus sedikit mengalami hambatan karena birokrasi akibat konflik antara Tajikistan dan Kyrgysztan.
Akibat konflik antara Tajikistan dan Kyrgystan dua perbatasan Bordobu yang kami lewati kemarin tertutup untuk warga kedua negara tersebut dan hanya terbuka untuk turis. Mereka yang boleh lewat hanya pengemudi yang membawa turis dengan izin khusus.
Dan untuk melewati beberapa pos pemeriksaan di kawasan GBAO ini pengemudi kami walau saat ini semuanya mengendarai mobil yang terdaftar di Tajikistan tetap harus mendapat ijin khusus di Murghab karena baru saja masuk dari Kyrgystan.
Selesai dengan sedikit urusan birokrasi, perjalanan dilanjut sejenak melewati pusat kota Murghab dengan Patung Leninnya yang unik karena ukurannya yang mini. Baru kali ini saya melihat Patung Lenin di lapangan terbuka dengan ukuran kecil. Biasanya patung Lenin selalu dalam ukuran besar termasuk yang ada di Osh.
Setelah melewati pos pemeriksaan di batas kota Murghab, jelajah Atap Dunia berlanjut menuju Alichoi.
Masih sekitar 100 kilometer lagi, demikian ucap Ibrahim sambil menghidupkan lagu-lagu berbahasa Kurgiz di perangkat mobil.
Namun jalan menuju Alichoi memang dalam kondisi yang ploho atau kurang baik dengan kondisi beragam dari aspal yang lumayan baik hingga lubang kecil dan besar. Kendaraan yang lalu lalang sangat sepi karena dalam waktu lama hanya ada konvoi kami di jalan raya. Sesekali dari arah berlawanan muncul truk besar dari Tiongkok.
Sekitar satu setengah jam perjalanan, rombongan belok ke kiri dari jalan raya dan melewati jalan dari tanah dan kerikil yang diperkeras yang mengingatkan saya akan pengembaraan di benua Afrika.
Tujuan pertama adalah sebuah desa penggembala ternak yang terdiri dari beberapa yurt atau tenda dan sekumpulan yak dan domba.
Di desa ini, pengunjung dapat berinteraksi dengan penduduk, masuk ke dalam yurt dan melihat situasi ruang tengah, dapur dan juga sekilas demo memasak pasta.
Maya dan Mas Kasan juga sempat naik yak dan difoto. Maya sempat membagikan permen dan cokelat serta roti nan kepada anak-anak dan penduduk setempat. Lumayan asyik berwisata di desa kaum penggembala ini.
Perjalanan kembali berlanjut dengan mampir ke sebuah situ kecil yang bernama Situ Ikan Putih. Konon air di situ ini memiliki khasiat tertentu.
Senja kian menjelang dan sekitar pukul 7.30 malam barulah tiba di desa Alichoi dan menginap di Guest house yang nyaman. Sekitar pukul 8.30 , majan malam disajikan.dengan menu yang lumayan lengkap seperti laghman, ayam dengan kentang goreng, teh hangat dan semangka serta permen, biskuit dan cokelat mengakhiri hari yang cukup melelahkan ini.
"Di sebelah kiri kita adalah Afghanistan," ujar Ibrahim sambil menunjuk ke arah pegunungan di sebelah kiri.
Sekitar setengah jam perjalanan, kami tiba di pertigaan arah Ishkasin, dan Khorog. Jalan ke arah Ishkashim merupakan jalan yang lebih kecil dan tidak beraspal, melainkan hanya tanah yang diperkeras dengan taburan kerikil seadanya. Jalan seperti ini lah yang akan menemani kita selanjutnya melintasi Wakhan Corridor menuju Langar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H