Secara tidak sengaja saya melihat kalender dan terlaku pada hari ini, 13 Mei 2024. Pikiran saya langsung melayang kembali kepada kejadian 26 tahun yang lalu, pada Mei 1998.
Mungkin sebagian besar dari kita sudah lupa akan kejadian ini, apalagi bagi generasi yang belum lahir atau masih balita pada saat itu. Akan tetapi buat sebagian orang yang mengalami langsung ataupun tidak langsung tragedi kemanusiaan dan sejarah kelam ini, tentu tidak mudah untuk  melupakannya. Apalagi karena ia masih mengandung banyak kontroversi dan teka-teki sejarah yang hingga kini belum tuntas.
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 sudah diakui oleh pemerintah melalui presiden Jokowi sebagai pelanggaran Ham berat di Indonesia. Bersama dengan deretan pelanggaran pelanggaran berat lainnya yang serupa tapi tak sama. Sayangnya, sebagai bangsa dan manusia kita tidak mau atau bahkan tidak mampu atau tidak pernah legowo untuk mengakuinya. Bahkan dengan mengakui pelanggaran berat itu pun Jokowi sempat mendapat banyak reaksi nyinyir dan kecaman.
Kalau  untuk mengakui  kesalahan itu saja sudah sangat berat dan tidak ikhlas, tentu saja akan susah untuk mencoba memperbaiki nya agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Akibatnya banyak kejadian kekerasan terus berulang walau dalam bentuk yang berbeda.  Rasanya sudah sangat banyak peristiwa kekerasan dan kerusuhan secara komunal yang terjadi di  negeri ini dalam sejarahnya yang masih belum panjang sebagai sebuah negara yang bernama Indonesia. Apalagi kalau ditarik panjang ke belakang ke masa-masa kolonial dan masa klasik.
Mirisnya, Kita lebih suka atau bahkan lebih senang untuk melupakan sejarah. Â Seakan akan dengan melupakannya kita akan terbebas dari dosa masa lampau yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya.
Sementara itu sebagian besar dari kita lebih suka mengingat, membela, memaki, menyiarkan, serta sekaligus menanamkan kebencian pada kejahatan kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang mungkin tidak pernah kita lihat secara langsung kepada masyarakat yang juga mungkin jauh dari kita secara geografis. Tidak ada yang salah dengan ini. Ini adalah perbuatan yang mulia. Tetapi yang mungkin kurang elok adalah ketika kita secara kolektif lebih suka melihat kesalahan orang lain dibandingkan dengan introspeksi diri kita sendiri sebagai masyarakat dan suatu bangsa.
Mungkin kita akan selalu merasa bahwa kita adalah sosok yang paling benar ,mulia, jujur dan berbeda dengan sosok  lain yang bisa berbuah kejam.  Namun dalam sejarah bisa dan mungkin saja kelompok atau orang  lain (yang kita sebut sebagai mereka) gyang menganggap kita yang zalim dan kejam?  Untuk memahami nya tentu tidak mudah, hanya diperlukan kebesaran jiwa untuk sesekali keluar dari perangkap dan sekat  antara Kita dan Mereka. Untuk memahaminya, kita hanya perlu menjawab pertanyaan seandai kita menjadi mereka, lalu bagaimana?
Tentunya kita tidak mau menjadi sosok yang sering dibahas  dalam peribahasa "Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan nampak jelas."
Mari merenung dan sejenak merenung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H