Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

6 Rasa yang Mungkin Timbul Setelah Menyaksikan Film Eksil

27 Maret 2024   10:54 Diperbarui: 27 Maret 2024   11:14 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film Dokumenter Eksil sudah diputar di bioskop sejak Februari hingga Maret 2024 lalu.  Film Garapan sutradara Lola Amaria ini menceritakan tentang Nasib sepulih orang eksil yang terdampar di luar negeri seterlah peristiwa G30 S/PKI karena dicap sebagai simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia.  Sejatinya mereka adalah para pemuda yang dikirim untuk belajar di berbagai negara blok Timur seperti Uni Soviet, Tiongkok, atau Cekoslovakia dan mendapat bea siswa dari pemerintah Orde Lama.

Film ini adalah Kumpulan serpihan-serpihan kisah yang dirajut dengan manis menjadi koleksi trauma para eksil tersebut.  Dengan narasi yang cantik, penonton bagaikan diajak kembali ke masa hampir 60 tahun lalu dan ikut merasakan duka dan nestapa mereka yang terus berlangsung hingga puluhan tahun kemudian.  Dicabut paspor dan tidak bisa pulang serta kehilangan atau tidak berani melakukan kontak dengan keluarga di tanah air. 

Perubahan politik setelah jatuhnya orde baru memberi angin segar,  sebagian bahkan bisa kembali pulang di akhir masa orde baru setelah memiliki paspor negara asing (Barat) tempat mereka menerima suaka atau tinggal.  Namun pada masa itu mereka masih menyaksikan dan mengalami penolakan yang sangat keras karena suasana anti komunisme dan PKI yang masih kuat di negeri ini.   Walau zaman terus berubah, mereka tetap merasa bahwa hak-hak dan waktu emas mereka yang hilang tidak dapat tergantikan dengan pengakuan kembali sebagai warga negara ataupun kemudahan mendapatkan visa untuk pulang.  Mereka menuntut sesuai yang lebih, yaitu permintaan maaf pemerintah yang hingga kini belum atau mungkin tidak akan pernah didapatkan.  Pemerintahan Jokowi sendiri pernah mengakui pelanggaran HAM berat atas peristiwa lanjutkan pada 1965.6. Akan tetapi belum spesifik terhadap para eksil dan tidak berbentuk permintaan maaf. 

Sekali lagi, sama seperti peristiwa G 30S baik pakai PKI atau tidak, kasus para eksil dan juga kisah yang dituangkan dalam film Eksil ini mau tidak mau akan memicu kontroversi dalam masyarakat, tergantung posisi dan pilihan politik masing-masing. Berikut beberapa perasaan yang mungkin dialami penonton setelah menyaksikan film ini:

1.Terharu secara Kemanusiaan

Film ini dibuka dengan narasi ""Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana, di berbagai negeri, di berbagai benua."  Ini adalah cuplikan dari puisi dari salah satu orang Eksil yang hadir dalam film, yaitu Chalik Hamid.   Mendengar narasi ini, langsung dada terasa sesak dan rasa empati penonton pada umumnya hanyut dalam perasaan sedih dan geram, seakan penonton ikut merasakan apa yang dialami para eksil, yang sejak muda terdampar di negeri asing dan akhirnya sebagian besar terpaksa menutup mata di negeri asing nun jauh di sana.   Rasanya ini adalah dampak pertama yang timbul jika kita menonton film Eksil. Rasa kemanusiaan dan hati nurani kita teriris-iris dan sebagian bahkan ikut meneteskan air mata.

2. Mendapatkan Informasi yang selama ini dianggap Haram.

Saat giliran Asahan Aidit yang kini juga sudah almarhum bercerita, film juga menayangkan lintasan sejarah Partai Komunis Indonesia yang pernah menjadi salah satu partai komunis terbesar di Asia Tenggara dan bahkan nomor toga terbesar di dunia.  Dikisahkan tentang perjuangan PKI bahkan sebelum zaman kemerdekaan serta sosok DN. Aidit yang digambarkan cerdas, jujur dan bahkan religius.  

Presentasi dan  Narasi seperti ini merupakan informasi yang selama ini sangat haram beredar di Indonesia terutama di saat orde baru yang sangat anti terhadap PKI.  PKI yang saat itu dianggap sebagai bahaya Laten.  Kita seakan-akan dibawa kembali  ke masa ketika HUT PKI dirayakan besar-besaran di Gelora Bung Karno dengan latar belakang poster gambar Marx dan Lenin. 

3. Simpati dan Empati.

Menonton dan mendengarkan narasi 10 eksil secara langsung dengan menyaksikan raut wajah tua mereka, mau tidak mau penonton akan merasakan simpati terhadap para eksil dan juga para korban yang konon jumlahnya jutaan atau ratusan ribu yang dibantai atau ditahan dan dipenjarakan tanpa pengadilan.  

Generasi muda yang belum lahir ketika peristiwa itu terjadi dan menonton film ini seakan-akan mendapatkan informasi dari sisi atau pihak lain yang sama sekali bertentangan dengan informasi yang selama ini didapat di masa orde baru.  Bukankah selama ini kita lebih banyak menyaksikan film Pengkhianatan G 30 S /PKI yang membuat kita sangat takut terhadap hantu PKI dan Komunisme? 

4. Membangkitkan rasa rindu terhadap orde baru dan merasa bahwa PKI akan bangkit kembali. 

Sebagian penonton mungkin merasa bahwa film ini menjadi salah satu media untuk pembelaan pihak-pihak yang tersisih dan kalah dengan naiknya orde baru.  Film ini, walau pun kalau dilihat dari sisi kemanusiaan terasa netral dan tidak berpihak, namun karena berani menyuarakan sosok-sosok yang selama ini dilupakan, yang  berusaha untuk menuntut minta maaf pemerintah, bisa dianggap menjadi corong untuk menyudutkan pemerintah orde baru dan bahkan pemerintah sekarang.  Apa lagi adanya narasi salah seorang eksil yaitu Karta Prawira yang mengatakan bahwa "Orde Baru masih ada hingga saat ini, Mereka hanya berganti jas."  Bahkan film ini pun bisa saja dituduh sebagai pembenaran bahwa PKI itu masih ada dan hanya berganti baju serta pembuktian kesahihan doktrin Bahaya Laten Komunis?

5. Sedih dan berharap peristiwa ini tidak akan terulang lagi.

Nah bagi sebagian besar penonton yang merasa tidak memihak Orde Baru maupun mungkin mereka yang dianggap PKI, pada umumnya pasti merasa ikut simpati dan sedih terhadap apa yang pernah terjadi terhadap para eksil itu.  Pada umunya mereka berharap dan berdoa agar peristiwa seperti ini tidak akan terulang lagi.  Mirip seperti yang dikatakan Mahfud M.D selepas nonton film ini.

6. Salut Kepada Para Pembuat Film

Yang terakhir, sebagian penonton juga pasti merasa salut kepada sutradara dan para krew pembuat film yang terlah berani membuat film ini. Film ini dipastikan menyedot cukup banyak biaya karena harus dibuat dalam waktu yang cukup lama dan dibuat di berbagai tempat di Eropa seperti negeri Belanda, Swedia, Jerman dan Ceko. Juga menayangkan beberapa footage yang konon tidak murah.   Sementara secara komersial, film dokumenter seperti ini pun dapat dipastikan tidak akan mendapatkan banyak penonton atau meledak laris seperti film horor atau film komedi.   Namun misi film ini yang memberikan pandangan dan menempatkan penonton di sisi lain patut dipuji.  Apalagi Lola Amaria juga pernah berkomentar bahwa tidak akan mungkin membuat film ini jika Orde Baru masih berkuasa. 

Apa yang Anda rasakan setelah nonton film ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun