Menonton kembali film-film lawas kadang mengasyikkan, apalagi film tersebut merupakan film yang cukup kondang dan mendapat banyak penghargaan pada masanya. Â Salah satu sutradara yang juga sangat saya gemari film-filmnya adalah Teguh Karya yang banyak melahirkan film-film bagus.
Salah satu film bertemakan perjuangan adalah film November 1828 yang berlatar belakang Perang Jawa atau lebih sering disebut dengan Perang Diponegoro. Konon film ini merupakan salah satu film yang dibuat dengan kolosal dan menghabiskan biaya cukup banyak yaitu sekitar 240 Jura Rupiah pada saat itu.
Uniknya walau mengambil tema Perang Diponegoro, dalam film ini sang pangeran sama sekali tidak muncul. Tokoh utamanya adalah seorang kapiten tentara Belanda yaitu De Borst yang kebetulan merupakan seorang Indo yang memiliki impian untuk mendapatkan pengakuan sebagai Belanda totok. Â Karena itu dia sangat ingin sekali membuktikan kemampuannya untuk menangkap Sentot Prawirodirdjo, yang merupakan sekutu dan tangan kanan Pangeran Diponegoro.
Untuk memenuhi ambisinya ini Kapiten De Borst menggunakan segala cara yang terkadang dipandang licik, kejam dan sering juga di luar peri kemanusiaan. Demikianlah kisah ini mengambil tempat di sebuah desa Bernama Sambirorto pada November 1828. Â
Demang desa ini bernama Jayengrono yang merupakan tokoh yang menjilat Belanda dan membisikkan kepada Kapiten De Borst bahwa  Kromoludiro  mengetahui lokasi Sentot.  Karena itu, Kapiten De Borst berusaha sekuat tenaga untuk membuat Kromoludiro buka mulut. Namun walau Kromoludiro sudah ditangkap dan disiksa, dia tetap tidak mau buka mulut, termasuk ketika anak dan istrinya ikut disandera.Â
Dari dua tokoh di atas kita sudah mengenal siapa yang menjadi pahlawan dan siapa yang menjadi penghianat. Â Cerita bertambah seru dan menyentuh ketika Letnan Van Aken yang merupakan bawahan Kapiten De Borst, ternyata diam-diam masih memiliki simpati terhadap rakyat Jawa. Bahkan Letnan Van Aken juga terang-terangan mengaku bahwa dialah yang menjadi mata-mata dan memberitahukan posisi tentara Belanda sehingga Panglima Sentot susah ditangkap.
Jalinan cerita juga bertambah seru dengan adanya keinginan putra sang demang untuk mempersunting Laras, putri Kromoludiro. Â Namun tampaknya usaha ini gagal total.Â
Walau bertema film perang, ternyata kisah-kisah yang ditampilkan dalam film lebih banyak menunjukkan unsur-unsur kemanusian, seperti sosok pahlawan dan penghianat, serta juga mereka yang berjuang dari sisi religius dan kesenian. Â Film ini juga sekaligus menampilkan banyak sisi yang menarik dan seni dan budaya Jawa yang jarang tampil dalam film-film lainnya.Â
Dan yang paling menarik buat penonton sendiri adalah pesan moral yang disuguhkan dalam film yang menyabet banyak Piala Citra ini. Salah satunya bahkan secara gamblang disuarakan dalam narasi Kromoludiro: " Jika penduduk sebagian besar terdiri dari maling, maka lebih baik pulau Jawa ini tenggelam ke dasar laut." Â Kata-kata ini begitu menohok dan walaupun setting film ini sudah hampir dua abad yang lalu, ternyata masih sangat relevan dengan situasi di negeri ini.
Yang membuat film ini juga lebih menarik adalah sesungguhnya yang berkonflik dalam film ini ternyata lebih banyak melibatkan rakyat kita sendiri dan Belandanya sendiri hanya bermain sebagai latar belakang saja. Karena hampir semua pasukan tentara Belanda ternyata digambarkan sebagai Indo Belanda yang juga mempunyai latar dan pandangan yang berbeda-beda seperti antara Kapiten De Borst dan Letnan Van Aken. Â