Jalan-jalan di Bogota memang selalu penuh dengan kejutan yang selain menyenangkan, tetapi juga terkadang membuat dahi sedikit berkerut walau usia tidak bertambah. Seperti kisah yang  terjadi di hari Senin nan cerah ini. Â
Sebenarnya pagi itu saya  ingin berkunjung ke Museo Nacional de Colombia yang lokasinya sudah saya ketahui beberapa hari sebelumnya dan bisa dicapai dengan naik kendaraan tercinta, yaitu Transmilenio atau Busway versi Bogota.
Namun dalam perjalanan saya baru ingat bahwa hari Senin kebanyakan museum  tutup. Akhirnya saya melanjutkan naik  TransMilenio rute  D Ochenta uno atau D81 menuju kawasan yang sudah  saya kunjungi beberapa kali, yaitu La Candelaria  dan turun di halte San Victorino. Â
Dari halte ini saya berjalan kaki sesuka hati melewati kawasan pertokoan dan  jalan -jalan yang agak sempit. Tiba-tiba saya sadar bahwa saya sepertinya sudah tidak berada di kota tua mengingat bentuk bangunan yang. Berbeda dan kebanyakan berfungsi sebagai toko bangunan dan perlengkapan listrik. Tempat ini juga bukan tujuan turis atau wisatawan dan kebanyakan yang lalu lalang adalah warga setempat.
Setelah saya melihat alamat dan nama jalan, saya baru sadar bahwa saya memang salah belok arah ketika keluar dari halte. Seharusnya saya belok kanan ketika keluar di Carrera 10Â dan menuju ke jalan-jalan dengan Carrera lebih kecil karena tujuan saya di Museo del Oro adalah Carrera 6, tetapi saya belok kiri dan kini saya ada di Carrera 15. Â
Akhirnya  saya balik kanan dan terus berjalan di kaki lima yang sempit dan berdebu.  Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12 waktu Bogota yang bersamaan dengan pukul 12 malam di Jakarta.  Kebetulan saya melihat sebuah restoran lokal dengan menu di tulis sebuah papan dan ada yang  cukup menarik yaitu gambar Pollo Dorado atau ayam goreng yang kelihatan lezat.
Saya pun masuk ke dalam restoran dan mengambil tempat duduk. Restoran kecil ini hanya memiliki sekitar 10 meja dan terisi sekitar setengahnya saja.
Saya duduk di sebuah meja dan seorang perempuan dengan penampilan cukup menarik mendekati sambil menanyakan apa yang saya pesan tanpa memberikan menu.
Akhirnya saya langsung ingat Pollo adirado tadi dan juga menyebut arroz alias nasi.  Perempuan tadi sempat menawarkan carne atau daging dan juga huevos fritos (telur goreng) serta nama-nama lain yang saya tidak mengerti. Akhirnya saya saya tolak dan mengatakan Solo arroz con Pollo. Hanya nasi dan ayam.
Sedangkan untuk minuman saya memesan una botella de sgua sin gas, alias air mineral tanpa soda.
Menunggu tidak sampai 5 menit hidangan saya muncul dalam porsi yang lumayan. Selain nasi putih dan ayam goreng, ternyata hadir juga mie kuning  dan yang paling mengejutkan adalah pisang goreng atau platano frito yang  kelihatannya enak menantang.
Sebagai bumbu ternyata ada juga sambal hijau yang ternyata lumayan sedap.
Ketika membayar harganya ternyata 15.500 peso yang segera saya bayar dengan selembar uang  20 ribu peso.
Karena tidak jadi ke museum pagi tadi saya sudah memesan untuk ikut Food walking Tour, jalan kaki di pusat kota tua Bogota sambil menikmati Street Food alias makanan kaki lima khas Kolombia .
Seperti biasa, pemandu wisata menunggu di depan Museo del Oro dengan memakai payung merah. Kali ini pemandunya bernama Hector.
Kami mulai berjalan dan sekitar lima menit kemudian di berhenti di sebuah gerai yang tidak terlalu besar tidak jauh dari Calle Real untuk mampir mencicipi empenada. Sebenarnya saya sudah mencicipi empanada ketika di Mercado de la Concordia, namun empanada di sini memang lebih enak.
Di sini saya mulai berkenalan dengan beberapa peserta Tour . Salah satunya ada sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan dan dua pemuda. Â Ketika saya tanya, ternyata mereka berasal dari Peru. Pantas mereka selalu berbahasa Spanyol
Ibu inilah yang  akhirnya sering menjadi teman bercakap -cakap saya selama tur ini sekaligus melatih percakapan bahasa Spanyol saya walau kadang banyak yang tidak saya mengerti terutama jika sang ibu berbicara dengan cepat.
Walking tur kemudian berlanjut ke beberapa gerai lain seperti menikmati bunuelos, yang mirip donat dan isinya cukup bervariasi. Â
Ajiaco adalah kuliner khas Kolombia yang biasanya disajikan dalam porsi cukup besar. Namun dalam walking Tour ini kita bisa menikmatinya dalam ukuran mini. Â
Ketika sedang mampir menikmati arepa dan juga daging panggang. Saya kembali duduk bersama keluarga Peru tadi.
Saya cukup banyak bercakap-cakap dengan sang ibu yang hanya bisa berbahasa Spanyol . Dan untungnya salah seorang pemuda terkadang ikut membantu menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris seandainya sang ibu berbicara terlalu cepat atau saya tampak tidak mengerti.
Cukup banyak bahan percakapan kami baik mengenai tempat -tempat wisata di Peru dan juga Indonesia
Melihat kedua pemuda yang terlihat sebaya  itu saya kemudian bertanya kepada sang ibu ketika keduanya sedang berdiri agak jauh dari kami berdua.
"Son hermanos" ? Â Saya ingin tahu apa keduanya adalah abang adik. Â
Sang ibu tersenyum sambil kemudian menjawab.
"Son Novios."
Sejenak saya tidak dapat mengerti makna kata ini dan menampakkan raut wajah penuh tanda tanya.
Sang ibu kemudian menjelaskan sambil menunjuk Pemuda yang rambutnya lebih  ikal. Â
"El es El Novio de mi hijo."
Sekarang barulah jelas makna  kalimat Son novios yang diucapkan oleh ibu tadi.
Sebuah kejutan budaya yang benar-benar mengagetkan seorang ibu dari Peri bertamasya ke Kolombia bersama putra dan pacar sang putra.
Buat saya Ini adalah pengalaman paling mengharukan dari pengakuan seorang ibu.
Son Novios : They are boyfriends
El es El Novia de mi hijo: he Is the boy friend of my son
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI