Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

I Dont Believe in God, But I am Afraid of Him

27 Februari 2024   21:20 Diperbarui: 27 Februari 2024   21:46 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sekitar tiga jam jalan-jalan di seputar pusat kota tua Bogota La Candelaria, akhirnya kami semua diajak ke sebuah tempat untuk menutup secara resmi acara ini sekaligus memberikan tips bagi pemandu wisata.

Tempat ini letaknya hanya sekitar satu blok dari Plaza de Bolivar dan beralamatkan di Calle 11 di dekat persimpangan Carerra 5.

Di depan gedung terdapat prasasti dari marmer warna coklat muda yang terukir  nama gedung ini yaitu Centro Cultural Gabriel Garcia Marquez Cultural Mexico Colombia. Di bagian bawah ada tulisan Secretaria de Educacion Publica de Mexico dan juga ada logo bertuliskan CFR di sudut kiri atas.  

Informasi ini menandakan bahwa gedung ini sesungguhnya berada di bawah pengelolaan pemerintah Mexico walau berada di ibukota Kolombia.  CFE sendiri ternyata merupakan singkatan dari Fondo de Cultural Economica.  

dokpri 
dokpri 


Kamu kemudian  menaiki anak tangga yang  melingkar dan sampai di ruang terbuka di lantai atas.  Gedung  yang didominasi lantai dan  dinding dari bata warna merah kecoklatan ini lumayan cantik dan di dinding atas pun tertulis nama gedung yang sama.

Di suni  Rafa mengucapkan terima kasih kepada semua peserta tur sambil memberikan kode QR untuk memberikan ulasan. Bersamaan dengan itu lembaran demi kembara Peso pun berpindah tangan.

Namun sebelumnya Rafa juga bercerita sekilas mengenai siapakah Gabriel Garcia Marquez ini.

Sebelumnya pun saya sebenarnya sudah pernah mengenal nama penulis paling kondang dari  Amerika Latin yang pernah mendapat hadiah Nobel kesusastraan. pada 1982.   Bahkan saya juga memiliki bukunya yang terkenal yaitu 100 Tahun dalam Kesunyian atau Cien Aos de Soledad dalam bahasa aslinya.  

Ketika sedang berjalan kaki di sekitaran La Candelaria ini, yaitu dari Halet Transmilenio San Victorino menuju ke Museo del Oro tadi pagi pun saya banyak menjumpai pedagang kaki lima yang menjual buku-buku bekas.  Dan banyak di antaranya yang menjual buku Cien Aos de Soledad Ini.

Tetapi baru di Bogota itu saya mengenal lebih banyak lagi karyanya seperti yang diceritakan di Calle Real, yaitu Vivir para Contarla yang bercerita tentang peristiwa Bogotazo pada 1948.

Gabriel Garcia Marquez terbuat merupakan penulis kebangsaan Colombia yang kemudian lama menerap di Ciudad de Mexico hingga meninggal pada 2014 di sana. tidak mengherankan bila pemerintah Mexico yang kemudian membangun pusat kebudayaan dengan namanya di ibukota Kolombia.

Dikisahkan, berkat hadiah Nobel ini pula, namanya menjadi sangat terkenal di Amerika Latin dan dunia sastra sehingga buku yang dalam bahasa Inggris berjudul One Hundred Years of Solitude ini pun diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dan ditebak lebih dari 50 juta kopi.

Bahkan ketika Gabriel Garcia Marquez meninggal pada April 2015, presiden Kolombia ketika itu Juan Manuel Santos berkata bahwa Marquez adalah warga Kolombia paling besar dan Agung yang pernah hidup.  

Demikianlah Rafa mengakhiri kisahnya tentang Gabriel Marquez yang membuat saya tambah penasaran mengenai pemenang hadiah Nobel ini.

Saya kemudian turun ke sebuah toko buku yang ada di Centro Cultural ini dan melihat-lihat buku buku karya Gabriel serta tulisan mengenai dirinya.

Selain buku dalam bahasa Spanyol, saya sempat mengintip buku 100 years of Solitide dalam bahasa Inggris dan melihat bab pertama serta membaca bagian belakang buku.  

Saya akhirnya ingat lagi bahwa buku ini merupakan novel dengan genre Magic Realism yang mengggabungkan kisah nyata dalam sejarah Kolombia dengan fiksi.

Bab pertama buku ini mengambil tempat di sebuah kota khayali bernama Macondo dan dimulai dengan kalimat:  "Many years later, as he faced the firing squad, Colonel Aureliano Buenda was to remember that distant afternoon when his father took him to discover ice."  

Buku ini menceritakan tentang keluarga Buendia selama 7 generasi dengan air cerita dan kisah yang sangat memukau.

 El Amor: screeshoot
 El Amor: screeshoot


Selain karya masterpiece ini, Gabriel Garcia Marquez juga menulis sebuah buku yang tidak kalah menarik yang berjudul Love in the Time of  Cholera dengan judul asli El Amor en Los Tiempos del Colera.

Dalam kisah cinta inilah Gabriel yang merupakan seorang atheis dengan aliran politik komunis mengaku terus terang bahwa Dia Tidak percaya kepada Tuhan tetapi Takut kepada Nya.

Sebuah perantaraan yang aneh dan memiliki banyak interpretasi.

Bagaimana menurut pendapat pembaca?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun