Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

6 Agama, 1 Kepercayaan dan Seorang Pengungsi

27 Februari 2024   08:25 Diperbarui: 27 Februari 2024   08:54 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Kelenteng  Ini tidak merepresentasikan kelenteng di Indonesia pada umumnya," demikian kita-kira komentar Agustinus Wibowo membuka acara Jelajah Keberagaman di Taman Mini Indonesia Indah.

Kelenteng Kong Miau: Dok WKJ
Kelenteng Kong Miau: Dok WKJ

Menurut Mas Agus, bangunan utama kelenteng Kong Miau itu lebih mirip dengan kelenteng-kelenteng yang ada di Tiongkok sana.  


Sepasang patung singa ada di depan pintu gerbang seakan-akan mengawal bangunan ini.  Patung ini disebut dengan nana Shizhi yang secara literal berarti Singa Batu dan bertujuan untuk melindungi bangunan ini dari pengaruh buruk.

Singa jantan ada di sebelah kiri dan dapat dilihat dengan adanya bola di kaki kanannya sedangkan yang betina dilengkapi dengan anak singa di kaki kiri.

Kilin: dokpri 
Kilin: dokpri 


Kami memasuki pintu gerbang dan melihat patung hewan mitologis  yaitu kilin yang berbentuk gabungan singa dengan kepala naga. Kilin juga dipercaya memiliki kekuatan gaib untuk menangkal roh jahat.

 Gapura : dokpri 
 Gapura : dokpri 

Sementara itu di balik pintu gerbang di bagian atas ada kutipan kata bijak Kong Hu Cu dalam delapan huruf mandarin,   ji suo bu yu wu shi you ren.
  yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia " Diri tidak inginkan tabu kenakan orang," mungkin yang dimaksud  adalah jangan lakukan kepada orang lain hal yang kamu tidak ingin orang lakukan kepada dirimu.

Kami sempat masuk ke dalam ruang utama dan hanya melihat patung Kong Hu Cu di dalamnya tanpa patung dewa dewi yng menurut Mas Agus biasanya banyak ada di dalam kelenteng di Indonesia.

Keleteng Kecil: dok WKj
Keleteng Kecil: dok WKj

Kami kemudian mengunjungi sebuah bangunan kelereng yang lebih kecil yang ada di bagian samping kelenteng  utama. menurut mas Agus ini adalah contoh kebanyakan kelenteng di Indonesia. Di dalamnya ada altar dan beberapa patung dewa yang salah satunya adalah patung dewa Kwan Kong yang merupakan dewa perang.

Para peserta pada umumnya sangat antusias masuk ke rumah ibadah agama Kong Hu Cu.  

"Tetapi di Tiongkok sendiri, Kong Hu Cu bukan dianggap sebagai agama," tambah Mas Agus lagi sambil menjelaskan secara singkat posisi Ajaran Kong Hu Cu dalam kehidupan di Tiongkok beserta pasang surutnya.  Bahkan ajaran ini pun pernah diharamkan selama revolusi kebudayaan.

Di dalam kelenteng kecil ini pula, sempat disimulasikan ritual meramal nasib yang disebut Ciamsi.

Cukup lama kami menghabiskan waktu di kelenteng Kong Miau sehingga  Mbak Ira Lathief menganjurkan berpindah ke tempat ibadah lainnya kalau tidak mau acara tur berakhir hingga pukul 12 malam.

Majid Diponegoro: dok WKJ
Majid Diponegoro: dok WKJ

Kami kemudian berjalan santai menuju ke Masjid Diponegoro. Di sini sampel dilihat rombongan penari yang sedang bersiap-siap.  Juga ada replika bedug yang ada di Masjid Istiqlal.  Berbeda dengan kelenteng yang baru dibangun sekitar tahun 2010-an, Masjid dan berbagai tempat ibadah lainnya sudah ada sejak TMII berdiri pada 1975.


Perjalanan dilanjut menuju ke rumah ibadah di sebelah masjid, yaitu Gereja Katolik Santa Katarina dari Siena.

Gereja Katolik: dok WKJ
Gereja Katolik: dok WKJ

Menurut Mbak Ira, Santa Katarina adalah orang suci yang berasal dari Italia dan merupakan gadis anak ke 24 dari 25 bersaudara yang berdandan mirip lelaki agar tidak laku untuk segera dinikahkan.

Jadwal Miss: dokpri 
Jadwal Miss: dokpri 

Pada papan nama gereja ini ada jadwal misa setiap minggu pagi, tetapi sejak pandemi sudah tidak ada lagi misa di tempat ini.  

Bangunannya tidak terlalu besar tetapi gereja mungil ini cukup cantik dengan hiasan Patung Bunda Maria Segala Bangsa yang memakai kostum kebaya dengan Garuda Pancasila di dada yang merupakan replika dari patung yang ada di Gereja Katedral. Juga ada dokumentasi kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989 lalu.

Gereja  Haleluya: dok WKJ
Gereja  Haleluya: dok WKJ


Gereja  Kristen Protestan Haleluya yang ada tidak jauh di sebelah gereja Katolik Santa Katarina juga tidak kalah cantik dan mungil.  

Yang membedakannya adalah kebaktian di gereja ini masih aktif seperti yang baru saja berlangsung pagi tadi sesuai jadwal.  Menurut Mbak Ira, para jemaah  dapat masuk ke TMII secara gratis dengan menunjukkan kode QR.  Jemaah Advent dan GPIB mendapat giliran kebaktian setiap Sabtu dan minggu pagi.

Input Yesus dan domba:Dok WKJ
Input Yesus dan domba:Dok WKJ

Gereja ini memiliki menara setinggi 20 meter dengan lonceng dan hiasan ayam jago.  Yang unik dalam  gereja ini adalah lukisan kaca perjamuan kudus lengkap dengan bunga tulip di atas altar menghadap umat.  Di bagian depan gereja di lantai dua juga ada lukisan Yesus sedang menggembala domba.

Masih  ada beberapa tempat ibadah lagi.  Dari sini kami menuju ke Pura Hindu yang pada saat itu sedang ada upacara kesamaan  kami sempat sejenak masuk ke halaman Pura Penataran Agung Kertabhumi ini.

Pura Hindu : dokpri
Pura Hindu : dokpri


Berada di pura ini, suasana pulau Dewata segera menyeruak. Apalagi dengan latar belakang suara dari ritual ibadah yang sedang berlangsung.  Pintu gerbang utamanya bernama  Candi Bentar, di dalam area pura ada kulkul untuk tempat kentongan dan Bale Gong untuk tempat pertunjukan kesenian.  Karena sedang ada ibadah, kami tidak berlama-lama di pura ini dan segera pindah ke tempat ibadah di sebelahnya yaitu Vihara Buddha.

Sebuah bangunan dengan bentuk mirip stupa di Borobudur warna kuning emas menyambut kami.

Vihara Buddha: Dok WKJ
Vihara Buddha: Dok WKJ


Ini adalah Vihara Arya Dwipa Arama   yang juga tidak kalah cantik dan unik.

Menurut mas Agus ini adalah Vihara yang sangat bernuansa Indonesia karena bentuknya yang khas.  

Di ruang utama Vihara terdapat hanya sebuah Rupang atau patung Buddha.  Di sini kita dapat sejenak bersemedi.  Sementara pemeluk agama Buddha sejenak bersembahyang dan bersujud.

Mas Agus juga sempat sekilas menjelaskan mengenai pokok-pokok ajaran agama Buddha seperti Pancasila, serta istilah-istilah agama Buddha yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia seperti samsara, siksa, semedi dan sebagainya.

Sejenak berada di sini, tidak terasa suasana sejuk dan damai masuk menyeruak ke dalam sanubari didukung dengan  langit hang mendung berawan.

Input Sasana Adirasa: dok WKJ
Input Sasana Adirasa: dok WKJ


Tempat ibadah selanjutnya sangat istimewa karena selama ini tidak diakui sebagai agama dan hanya berstatus kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.  Namanya adalah Sasana Adirasa Pangeran Sambernyawa.  Arsitekturnya

Nuansa Jawa segede merebak ketika berada di sasana ini. Bentuk atapnya berupa joglo yang langsing menjulang tinggi bersusun tiga.  Bangunan utamanya sangat terbuka mirip pendopo di Kraton atau rumah bangsawan Jawa. Ada pintu-pintu dengan kutipan kata bijak dalam bahasa Jawa kromo unggil di atasannya.

"Di sinilah Pak Harto sering bersemedi," demikian keterangan mbak Ira sambil mengajak kami ke sebuah ruangan khusus yang berukuran sekitar 3x3 meter.

Di sini ada sebuah petilasan lengkap dengan dua cangkir minuman,  alat-alat sembahyang seperti dupa dan juga sebuah lukisan Pangeran Sambernyawa yang juga ternyata adalah Mangkunegara I, yang masih leluhur Ibu Tien Suharto.

Input Runah adat Toraja: Dok WKJ
Input Runah adat Toraja: Dok WKJ

Akhirnya selesai sudah acara anjangsana rumah 6 agama dan 1 kepercayaan. Tetapi agenda kami belum selesai. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 1 siang dan perut sudah berontak minta diisi.


Kami segera berjalan menuju anjungan Jawa Timur untuk memesan nasi pecel, rawon dan berbagai jenis makanan lainnya.  Suasana di tempat makan lumayan ramai sehingga waktu tinggi lumayan panjang.  Namun kami tetap bersemangat mengikuti satu demi satu agenda.

Setelah istirahat makan siang dan salat, acara berlanjut di anjungan Sulawesi Selatan, tepatnya di deretan  rumah berarsitektur Toraja yang disebut Tongkonan.

Di sini mas Agus bercerita tentang pengalamannya pernah menetap selama 2-3 bulan di Tanah Toraja.  Berkisah tentang agama asli Nusantara yang bernama Aluk Tudolo yang pernah digolongkan sebagai agama Hindu.  Walau etnis Toraja sendiri sekarang banyak yang sudah memeluk agama Kristen atau Islam, namun sebagian besar masih menjalankan praktik kepercayaan turun temurun ini.

Salah satunya Allah ritual kematian dan  penguburan yang sangat khas yang disebut Rambusolo.  

Dijelaskan juga tentang ritual manene dan perlakuan orang Toraja terhadap jenazah yang belum dimakamkan yang masih dianggap sebagus orang sakit, patung kayu Tautau dan adat memakamkan jenazah di bukit yang konon memiliki kesamaan dengan salah satu etnis di Yunan, Tiongkok.

Wah banyak sekali cerita yang didapat dalam waktu yang singkat ini.

Input Pagoda: dok WKJ
Input Pagoda: dok WKJ


Perjalanan kita pun masih belum selesai. Untuk itu kami pindah lagi ke Taman Tionghoa di dekat Museum Hakka. Di sini Mas Agus bercerita lebih banyak tentang identitas serta buku terbarunya Kita dan Mereka.  

Sebuah buku yang ditulis lebih dari 6 tahun dengan riset mendalam, bajakan mas Agus sempat berpuasa media sosial selama berbulan-bulan selama menulis buku ini. Ratusan buku dan referensi pun harus dibaca.  

Buku ini banyak membahas topik yang cukup sensitif mengenai agama dan perang suci yang mungkin akan menarik untuk dibaca.  

Dalam jalan-jalan ini, Mas Agus juga membawa misteri guest, seorang pemuda berusia 24 tahun yang good looking dan ternyata merupakan seorang pengungsi dari Afghanistan bernama Ali.

Ali: dokpri 
Ali: dokpri 

Mas Agus memperkenalkannya sebagai Etnis minoritas Hazarat yang beraliran Syiah dan memang mendapatkan diskriminasi dan persekusi di tanah kelahirannya
Etnis Hazarat berpenampilan sedikit lebih putih dan mirip dengan Mongol atau Tionghoa dan berbahasa Dari yang Nurul bahasa Farsi.  Di Afghanistan yang multietnis, Hazara memang minoritas sementara etnis Pashtun menjadi mayoritas.

Ali bercerita sudah 9 tahun menjadi pengungsi dan meninggalkan Afghanistan pada usia 15 tahun. Pertama dia baik pesawat terbang ke India, kemudian dilanjut ke Malaysia dan akhirnya naik perahu dan terdampar di Indonesia.  Sementara orang tuanya sendiri sekarang tinggal di Iran.

Ketika ditanya pendapatnya tentang Indonesia, Ali menjawab bahwa toleransi di Indonesia sangat baik ketika bermacam etnis dan agama dapat hidup berdampingan dengan damai tidak seperti di tanah  airnya.

Dengan statusnyabsebagai pengungsi, Ali tidak memiliki kepastian akan masa depan, tidak bisa memiliki pekerjaan dan hidup hanya dari tunjangan pengungsi dari PBB.

Akan tetapi Ali sendiri sangat istimewa karena bisa belajar bahasa Inggris secara mandiri dan bahkan telah lulus TOEFL serta menulis buku dan puisi.

Sekitar pukul 4 sore baru jalan-jalan kami usai di Taman Mini. Perjalanan singkat yang memperkaya jiwa dan membuka  perspektif baru  tentang perbedaan, identitas, agama, etnis, dan kepercayaan dari berbagai sudut yang berbeda.

Sebuah hari yang indah walau sempat mendung dan hujan rintik-rintik.

Jakarta, Feb 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun