Masih dalam rangkaian acara Festival  Kebhinekaan dan juga Koteka Trip ke 18, siang itu saya langsung menuju  ke Cilincing dengan taksi online.
Tujuan pertama sekaligus tempat berkumpul adalah Vihara Lalitavistara di jalan Raya Cilincing Lama, Jakarta Utara. Namun taksi online menurunkan saya di tempat parkir yang ada pagoda bertingkat delapan atau sembilan yang menjulang tinggi. Â Dan di dekatnya ada sebuah bangunan bernama Rumah Abu Wan Lin Chi. Â
Walau di lapangan yang luas ini banyak kendaraan parkir, tetapi suasananya sangat sepi dan rumah abu tersebut juga pintunya tertutup rapat.
Akhirnya saya ingat bahwa Vihara yang saya tuju terletak di sebelah utara pagoda ini, saya ingat pernah berkunjung ke tempat ini sekitar 10 tahun lalu bersama komunitas Sahabat Museum.
Di beranda Vihara Lalitavistara, Mbak Ira Latief dari Wisata Kreatif Jakarta dan beberapa peserta sudah menunggu. Waktu menunjukkan pukul 3 sore lewat beberapa menit. Â Kami menunggu sekitar 5 atau 10 menit hingga beberapa peserta lainnya tiba dan acara kunjungan pun dimulai.
Mbak Ira seperti biasa membuka acara dengan memperkenalkan diri dan juga mengajak para peserta untuk menunjukkan identitasnya. Â Lalu dikisahkan secara sekilas mengenai sejarah salah satu Vihara tertua di jakarta yang konon sudah berusia lebih 3 atau 4 abad ini.
Menurut legenda, dulu ada  seorang pedagang Tiongkok yang kapalnya karam di kawasan Cilincing. Dia kemudian melihat sebuah papan bertuliskan aksara Cina, San Guan Da Di, yang bermakna Tiga Penguasa yaitu Langit, Bumi dan Air. Setelah memberikan penghormatan kepada papan itu, air kembali pasang dan kapal pun bisa berlayar kembali. Nah di sila lah  kemudian didirikan bangunan kelenteng yang pertama.
Di halaman Vihara ini terdapat replika stupa candi Borobudur berwarna kuning emas. Â
Kami kemudian masuk ke dalam ruangan Vihara. Di salah satu sisi terdapat tiga buah patung dengan wajah hitam. Â Yang di tengah adalah pating sang Buddha, sementara di kedua sisinya adalah patung Dewi Kwan Im.
Di ruang sebelah kiri, ada para jemaah yang sedang beribadah dan terus melantunkan lagu lagi pujian dalam bahasa Mandarin.
Kami kemudian sejenak masuk ke dalam kelenteng yang paling  tua. Di sini kami dijelaskan tentang ritual Ciam Si yaitu menanyakan nasib dengan mengeluarkan batang bernomor.
Kami juga kemudian  masuk ke ruang tempat beribadah. Di sini tampak para biksu dan juga calon biksu dan biksuni sedang beribadah.  Salah seorang calon bikini yang berasal dari Lampung ikut menemani.
Ternyata selain Vihara dan  kelenteng, di sini juga ada sekolah tInggi agama Buddha, sekolah San fasilitas kesehatan untuk masyarakat sekitar.
Dari Vihara, kunjungan selanjutnya adalah mampir ke Pura Segara , yaitu pura Hindu yang ada di tepi laut. Â Tetapi mbak Ira mengajak kami untuk mampir sejenak ke Krematorium Cilincing yang terkenal.
Di Pura Segara kami disambut pemuka agama yang menjelaskan sekilas mengenai sejarah Pura dan beberapa fungsi bangunan yang ada di situ.  Kami juga sempat  berfoto bersama di depan pintu gerbang dengan ukiran yang cantik. Sejenak kami merasa sedang berada di pulau dewata.
Karena hari makin sore, kami melanjutkan perjalanan ke pantai Cilincing, melihat ke tempat pelelangan ikan dan kemudian mampir ke Masjid Al Alam. Sebuah masjid yang juga konon sudah berusia lebih 4 abad. Â Masjid ini sedang direnovasi dan bangunan aslinya kian tenggelam oleh kemegahan bangunan tambahan.
Dalam perjalanan pulang kami sempat mampir ke tempat penjualan makanan laut seperti udang dan cumi. Karena harganya cukup menarik, banyak juga peserta yang  membeli untuk dibawa pulang untuk oleh-oleh.
Sebuah perjalanan yang menarik dalam sepotong senja menjelajah ke berbagai tempat ibadah baik kelenteng, Vihara, pura dan juga masjid di Cilincing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H