Menurut legenda, dulu ada  seorang pedagang Tiongkok yang kapalnya karam di kawasan Cilincing. Dia kemudian melihat sebuah papan bertuliskan aksara Cina, San Guan Da Di, yang bermakna Tiga Penguasa yaitu Langit, Bumi dan Air. Setelah memberikan penghormatan kepada papan itu, air kembali pasang dan kapal pun bisa berlayar kembali. Nah di sila lah  kemudian didirikan bangunan kelenteng yang pertama.
Di halaman Vihara ini terdapat replika stupa candi Borobudur berwarna kuning emas. Â
Kami kemudian masuk ke dalam ruangan Vihara. Di salah satu sisi terdapat tiga buah patung dengan wajah hitam. Â Yang di tengah adalah pating sang Buddha, sementara di kedua sisinya adalah patung Dewi Kwan Im.
Di ruang sebelah kiri, ada para jemaah yang sedang beribadah dan terus melantunkan lagu lagi pujian dalam bahasa Mandarin.
Kami kemudian sejenak masuk ke dalam kelenteng yang paling  tua. Di sini kami dijelaskan tentang ritual Ciam Si yaitu menanyakan nasib dengan mengeluarkan batang bernomor.
Kami juga kemudian  masuk ke ruang tempat beribadah. Di sini tampak para biksu dan juga calon biksu dan biksuni sedang beribadah.  Salah seorang calon bikini yang berasal dari Lampung ikut menemani.
Ternyata selain Vihara dan  kelenteng, di sini juga ada sekolah tInggi agama Buddha, sekolah San fasilitas kesehatan untuk masyarakat sekitar.
Dari Vihara, kunjungan selanjutnya adalah mampir ke Pura Segara , yaitu pura Hindu yang ada di tepi laut. Â Tetapi mbak Ira mengajak kami untuk mampir sejenak ke Krematorium Cilincing yang terkenal.
Di Pura Segara kami disambut pemuka agama yang menjelaskan sekilas mengenai sejarah Pura dan beberapa fungsi bangunan yang ada di situ.  Kami juga sempat  berfoto bersama di depan pintu gerbang dengan ukiran yang cantik. Sejenak kami merasa sedang berada di pulau dewata.