Festival Kebhinekaan yang diadakan pada 17 Februari 2024 di Perpustakaan Jakarta Pusat juga menghadirkan dua film dokumenter yang cukup mengubah hati dan menguak fakta yang selama ini mungkin kurang atau hampir tidak pernah kita perhatikan.
Film pertama mengenai Puan Hayati atau  Perempuan Penghayat Kepercayaan Indonesia.  Puan Hayati merupakan salah satu organisasi yang menghimpun para perempuan penganut Kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa yang merupakan salah satu warisan kepercayaan asli Nusantara.
Aliran kepercayaan ini merupakan bagian dari Sapta Darma, yang didirikan sejak tahun 1952 di kawasan Kediri, Jawa Timur. Â Namun dikarenakan kebijakan pemerintah sejak tahun 1965-1966 yang hanya mengakui adanya 5 agama resmi, membuat banyak pengikut aliran ini akhirnya memilih salah satu agama resmi tersebut dan jumlah pengikutnya kian berkurang atau walau tetap menghayati ajarannya tetapi berlindung di balik agama mayoritas di kawasan mereka tinggal.
Dalam film ini kita diajak lebih mengenal aliran Puan Hayati dan juga bagaimana cara mereka melakukan ritual ibadah.  Dengan lebih mengenal aliran kepercayaan  ini, maka kita akan lebih mendalami bahwa sesungguhnya negeri ini memang diciptakan dengan penuh keberagaman.
Setelah pemutaran film, juga dihadirkan  narasumber  Nata Hening Graita Prameswari dan Ani Ema. Â
Salah satu narasumber yang berasal dari  Lampung sempat menceritakan pengalamannya yang sangat unik sebagai penganut Sapta Darma namun "berselimutkan" sebagai penganut salah satu agama resmi yang diakui.
Walaupun keluarganya tetap merupakan penganut kepercayaan, namun secara formal mereka menganut agama Islam, sehingga sejak kecil hingga  SMA, dia memakai hijab di sekolah. Uniknya ketika SD dan masih "polos" dia sempat bercerita kepada teman-temannya jika cara ibadah  mereka di rumah berbeda dan bahkan kiblatnya menghadap ke timur.
Uniknya perempuan ini juga mengaku pandai memgaji  sehingga sering ditunjuk  untuk membaca Al Quran  pada acara tertentu di sekolah atau di lingkungan tempat tinggalnya.
Nah semuanya mulai berubah ketika peraturan menteri pada 2017 memperbolehkan para penganut kepercayaan untuk mencantumkan identitas mereka di KTP.
Secara perlahan, mereka yang menganut kepercayaan mulai menunjukkan identitas dan berbagai organisasi kemudian timbul seperti puan hayati ini.